Friday, November 27, 2009



Anwari Doel Arnowo – 27 Nopember, 2009

USUL SAJA

Ini adalah sebahagian dari tulisan saya berjudul: Valentine yang bertanggal 16 Febuari, 2005 :

Terus terang saya tetap senang dengan saling menghormati dalam beragama, karena agama adalah urusan yang paling pribadi. Menyuruh ini itu, begini begitu, itu dosa dan akan dihukum berat di neraka dan sebagainya dan seterusnya tiada habisnya. Hidup menjadi susah karenanya.

Di Amerika dan Eropa serta Kanada bahkan di Australia banyak kalangan sekarang sudah menengarai bahwa Santa Klaus perlu dipertanyakan. Banyaknya pertanyaan: “Do you believe in Santa?” membuktikan timbulnya keraguan itu. Pernah saya mendengar dari seseorang berkebangsaan Kanada yang mengatakan bahwa “Christmas and Santa is considered by many individual, that it has nothing to do with Christianity. More as a tradition or custom than religious matter. Both are full of commercials!” Padahal saya tahu dia ke Gereja dan bersembahyang secara Kristen.

Ini saya pakai sebagai awal sebuah tulisan, tentu saja saya memang bermaksud ingin menyampaikan sesuatu, yaitu tercampurnya adat dan kebiasaan ke dalam praktik keagamaan. Seperti diketaui oleh masyarakat umum, hari ini adalah Hari Raya Qurban yang dirayakan seluruh ummat Islam di seluruh dunia, secara internasional. Di Eropa, Amerika, Kanada dan di semua negara di jazirah Arab, tentu saja di Saudi Arabia sendiri. Tidak semua orang Idonesia “mau” mendengarkan kalau diberi tau bahwa Iedul Fitri itu hanya di Indonesia saja dirayakan secara besar-besaran. Salat Iedul Fitri itupun hanya sunnah wakadah, bukan wajib.

Saya ingin menyatakan bahwa saya tidak anti salat Iedul Fitri dan juga tidak anti bermaaf-maafan pada hari itu, meskipun saya benar-benar mengetaui bahwa hal itu tidak dilaksanakan secara internasional. Apalagi yang istilah Jawanya: Nyadran, ritual yang dilakukan orang Jawa dalam menghormati kuburan/makam leluhurnya. Yang saya berkeberatan, dan juga sama sekali amat tidak mendukung, kebiasaan kita MUDIK dengan mencampur adukkan Iedul Fitri secara bersamaan dengan adat-adat Jawa, atau daah lain. Mudik itu dilakukan oleh mereka, jumlahnya bisa mencapai lima juta jiwa lebih, yang sebagian besar mereka adalah yang penghasilannya pas-pasan malah kurang dari normal. Mereka memaksakan diri pergi dari Jakarta ke Jawa Tengah dan Timur serta kota-kota lain. Berangkat dengan membawa tabungannya yang setahun bekerja penuh di kawasan Jabodetabek, bersuka ria di kampung, royal menghamburkan uang yang didapatkannya dengan susah payah berupa tabungan, dan HABIS. Kembali balik ke tempatnya bekerja saja bisa membuat utang baru untuk ongkos kendaraan. Ini kan hal yang tidak masuk akal yang rasional. Itu yang saya amat keberatan, membiarkan mereka hidup boros dan kurang teliti menapak hidupnya yang tidak pernah jelas masa depannya. Tunggu dulu, sabar, jangan dibantah dulu. Sejak puluhan tahun yang lalu, saya menerima, setiap tahun, jawaban: “Kan hanya sekali setahun!!” sudah sering diucapkan kembali kepada saya. Ada yang setengah marah seakan-akan saya menghina agama. Yang saya kemukakan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Saya hanya mengingatkan ber-agama-lah sesuka anda, tetapi berperi-lakulah yang rasional. Biasa saja, pakai akal dan kepala dingin. Tidak usah marah. Tidak ada yang mengusik masalah kepercayaan dan agama anda. Menganut agama dan menjalankan pikiran yang rasional bisa bersama-sama dengan ritual ber-agama dengan damai kok.

Nah mari kita kembali ke Iedul Adha.

Ini yang saya dapatkan dari Wikipedia:

Eid al-Adha (Arabic: عيد الأضحى ‘Īdu l-’Aḍḥā) "Festival of Sacrifice" or "Greater Eid" is a holiday celebrated by Muslims (including the Druze) worldwide to commemorate the willingness of Ibrahim to sacrifice his son as an act of obedience to God.

Eid al-Adha is the latter of two Eid festivals celebrated by Muslims, whose basis comes from the Quran.[1] Like Eid al-Fitr, Eid al-Adha begins with a short prayer followed by a sermon (khuba).

Eid al-Adha annually falls on the 10th day of the month of Dhul Hijja (ذو الحجة) of the lunar Islamic calendar. The festivities last for three days or more depending on the country. Eid al-Adha occurs the day after the pilgrims conducting Hajj, the annual pilgrimage to Mecca in Saudi Arabia by Muslims worldwide, descend from Mount Arafat. It happens to be approximately 70 days after the end of the month of Ramadan.

Saya silakan untuk menyimak sendiri dan ini adalah beberapa ketentuan yang telah diterima oleh Wikipedia, bukan hasil pikiran saya. Saya merasa tidak perlu dan tidak mampu menerjemahkannya, karena ada kemungkinan membuat kesalahan dalam penerjemahan, dan bisa menimbulkan polemik, yang memang saya hindari. Apalagi saya tidak ada niat untuk menuliskan sesuatupun mengenai Iedul Adha sendiri. Yang ingin saya kemukakan adalah hal-hal berkut:

Pada suatu saat lebih dari sepuluh tahun yang lalu, negara Somalia yang melarat dan juga Sudan, dua-duanya terletak di sebelah Selatan dari Jazirah Arab, sedang kekurangan bahan makanan. Mereka semua berdesak-desakan atau mengantri panjang sekali hanya untuk mendapatkan makanan dengan badan setengah telanjang karena kemiskinan yang menimpa hebat di negeri mereka.

Pada waktu yang bersamaan ada perayaan Hari Raya Iedul Adha dengan kurban dari para jemaah Haji di Mekkah dan sekitarnya. Yang melakukan kurban berupa penyembelihan binatang , demikian banyaknya, sehingga tak tertampung penyalurannya. Saya konfirmasi dengan siapapun yang saya kenal, yang pada waktu itu menunaikan ibadah Haji bertepatan dengan Iedul Adha. Memang benar daging-daging kurban itu banyak yang mubazir (percuma, wasted). Alangkah sayangnya hal seperti itu telah terjadi.

Beberapa tahun kemudian saya diberi tau bahwa daging kurban itu telah disalurkan sampai ke negara lain dan diberikan kepada yang membutuhkannya. Saya mengucapkan syukur bahwa hal itu telah diatasi, meskipun saya tidak mengetaui kejelasannya yang lebih rinci.

Sampailah kita ke tahap usul saya.

Saya melihat kurban ini sudah melalui beberapa masa yang dulu waktu saya masih kanak-kanak, kurban diberikan oleh orang per orang secara langsung. Di Toronto, Kanada, khusus tata cara hal penyembelihannya itu ada, dan ini erat hubungannya dengan masalah kesehatan. Tidak seperti halnya di Tanah Air, di mana semua orang dan di tempat mana saja orang boleh menyembelih hewan kurban. Sekarang sejak beberapa tahun terakhir ini sudah ada sistem yang istilah Betawinya “patungan” biaya harga hewan kurban. Beberapa orang bersepakat untuk secara bersama membayar harga hewan kurban seekor sapi dan mengurbankannya.

Yang saya usulkan adalah melakukan penyembelihan dan membagi langsung kepada mereka yang berhak, di mana telah diketaui sebagai daerah yang minus kondisi nilai perekonomiannya. Ketika bagian tulisan ini saya kerjakan maka di TV One sedang ditayangkan seseorang bernama Ibu Ami yang tempat tinggalnya di Parung, Bogor, sudah berada di masjid Istiqlal di Pintu Air yang jauh sekali letaknya dari Parung, sejak satu hari sebelumnya. Dia sudah berada di masjid sejak pagi hari pada Hari Raya Iedul Adha dan waktu pemotongan hewan itu baru dilangsungkan pada sore hari untuk menhindari teriknya matahari. Waktu diwawancara itu saya melihatnya pada setelah usai saat warta berita pukul 21:00. Ibu Ami menjawab, bahwa kalau nanti daging yang dia peroleh akan hanya dibawah satu kilogrampun dia bilang itu tidak apa-apa. Kalau usul saya bisa diterima, sungguh akan alangkah berbahagianya rakyat yang hidup di daerah terpencil yang tidak sempat mengecap kemewahan (the luxury) daging hewan berkaki empat.

Oleh karena saya sudah lama melakukan praktek seperti usul saya itu di Kalimantan, di tengah hutan bukan di kota dan di sebuah Pesantren di Jawa Barat Selatan, dan sekitar Bekasi atau di desa-desa lain di mana yang secara fisik belum pernah saya kunjungi sampai saat ini. Saya sudah gembira ketika pemimpin sebuah pesantren itu menelepon saya dan mengatakan rasa terima kasihnya, sambil berkata: “Saya senang anak-anak asuh saya akan bisa ikut menikmati makan daging kambing yang Bapak sumbangkan”. Bukankah kata-kata ini menyejukkan hati? Mengapa sejuk? Kata orang Jawa: Ketrimo. Itu karena bisa di kaji dari contoh berikut: Orang kota itu kalau suatu saat mengatakan ‘malam ini kita akan makan apa?’ jawabnya bisa Mi Goreng atau Nasi Kuning atau nasi dan sate kambing. Tetapi bila pertanyaan yang sama itu dikatakan oleh orang yang bertempat tinggal di tempat terpencil, maka mungkin sekali jawabnya adalah nasi putih dengan sayur daun pakis atau nasi dengan garam atau makanan lain yang lebih sederhana. Di tengah hutan di Kalimantan Tengah amat jarang dikenal binatang ternak berkaki empat pada awal tahun 1990an. Saya pernah membawa tujuh ekor kambing naik sebuah speedboat yang agak besar, yang akan saya kurbankan di dekat Camp tempat saya bekerja, yang terletak jauh sekali dari ibukota Kabupaten Kota Waringin Timur di Propinsi Kalimantan Tengah. Yang dikonsumsi oleh seratusan orang karyawan, hanya sekitar tiga ekor dan sisanya akan saya suruh sembelih ketika para karyawan yang sedang cuti Lebaran datang kembali bekerja. Tetapi apa yang terjadi? Seekor kambing sisa itu, beberapa hari kemudian mati mendadak. Apa pasal? Karena kambing yang naas ini telah makan rumput yang hijau, yang dimangsa, tanpa terasa, bersama dengan butir-butir pasir yang menempel di daun rumput-rumput itu. Hal itu diketaui dengan pasti setelah kambing dibuka bagian perutnya dan diperiksa isi ususnya. Anda bisa tebak isinya. Benar, isinya butir-butir pasir! . Di Kalimantan ini meskipun pohonnya semua tingginya lebih dari tiga puluh meter dan umurnya melebihi seratus tahun, apabila di tebang maka tanah di mana pohon itu tumbuh lapisan bagian teratasnya banyak yang berpasir dan di bawahnya lagi adalah tanah gambut. ini bisa membantu anda yang belum mengalami, bagaimana mewahnya (luxurious)nya daging ternak seperti halnya kambing yang dikisahkan di atas.

Itulah gambaran yang bisa saya berikan, bahwa daging kurban itu akan lebih bermanfaat apabila bisa diatur agar diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Caranya: kirim fasilitas pembayaran berupa uang atau lainnya sehingga kurban bisa dibeli di tempat, sedekat-dekatnya dengan tempat tujuan seperti dicontohkan di atas. Bagi orang yang tinggal di tempat-tempat seperti Jakarta atau kota-kota yang lumayan cukup besarnya yang bisa mendatangkan daging di pasar sehari-harinya, bukan sesuatu yang aneh, karena daging adalah barang yang ada dalam kehidupan kesehariannya.

Hari ini saya makan besar. Pagi hari hanya roti panggang dan kopi. Siang hari diundang kakak ipar saya dan saya lihat demikian banyaknya hidangan, demikian juga yang hadir. Saya menghabiskan tiga potong kecil otak sapi (gulai) sedikit daging berlemak, lima tusuk sate daging kambing dan sekitar empat potong tipis lontong. Lalu es krim dan minum teh tarik. Masih banyak buah dan kueh, saya sudah tidak menyentuhnya dan malam harinya saya tidak makan sedikitpun. Bagi saya sekarang makan seperti itu sudah besar dan mewah. Saya mengingat saudara-saudara saya orang Dayak di pinggir hutan, dibawah jembatan layang sekitar gedung mewah di kota-kota besar di pulau Jawa, para nelayan dan para penambang liar, yang tidak pernah menyentuh apa yang saya habiskan pada hari ini. Makanan sekian itu adalah hanya senilai sekitar 30 persen dari apa yang saya konsumsi sepuluh tahun yang lalu dalam satu hari. Saya puas dan bahagia. Kalau terlintas dalam pikiran saya mereka yang tadi yang saya sebut di atas, tiba-tiba saya menjadi seorang yang amat amat kaya raya. Masih menikmati makanan secara nyata, merasakan makan dengan enak dan berbadan sehat.

Anwari Doel Arnowo

27 Nopember, 2009

Wednesday, November 04, 2009

Kepada semua warga negara Indonesia,

Mari teman-teman, agar tidak terlalu tegang, kita baca idea ini:
Meskipun kita mengakui atau tidak, yang dinamakan Team atau Komisi atau lembaga atau apapun itu, dibentuk utamanya adalah karena: TIDAK mampunya pemerintah melakukan tugasnya dengan baik dan benar.
Oleh karena pekerjaan pemerintah sampai saat ini adalah sesungguhnya hanya melakukan kerja tata-usaha dan tata-kelola dan tata penyeliaan, maka saya berpendapat perkataan pemerintah itu DIGANTI saja menjadi administrasi (BOLEH DENGAN HURUF KECIL SAJA). Kata pemerintah itu dari kata perintah yang dalam bahasa Inggrisnya adalah to govern yang memang biasa memerintah pihak lain. Nah pihak lain itu, sejak jaman dahulu kala, yang sekarang disebut dengan rakyat itu terjemahan bahasa Inggrisnya adalah subject meskipun pada abad yang lalu perlahan-lahan digantikan dengan people.
Dalam hubungan government dengan subject dan people, maka terjadi pengertian yang salah: siapa majikan dan siapa bawahannya.
Dalam cara demokrasi, Rakyat adalah majikan dan Pamong Praja adalah bawahannya / pegawainya, yang bekerja untguk mengelola dan menyelia sebuah administrasi (administrasi ke-Negara-an).
Disimpulkan di sini: Apabila Negara Kesatuan Republik Indonesia indonesia ini adalah sebuah Perusahaan yang BUMN, maka pegawai negeri itu adalah pegawaI BUMN dan Direktur serta Komisarisnya semua adalah pengurus perusahaan. Siapa Rakyat di perusahaan ini?? Rakyat adalah MUTLAK pemilik Saham Perusahaan. Direksi dan juga Komisaris bisa diangkat dan diberhentikan bahkan dipecat oleh sebuah rapat pemegang saham. Right there and then!!
Sekarang ini di Indonesia, semua rakyat diharapkan menghormat pejabat (yang sesungguhnya adalah abdi dari rakyat), bahkan menyanjung-nyanjung dengan mindset yang ditanamkan bahwa para pejabat can do no wrong. Hal ini ternyata sebagai warisan jaman dan tata cara kolonial yang feodal.
Usul saya itu, sudah lama dipraktekkan di Amerika Serikat, yang governmentnya adalah Administration, dan yang namanya Menteri itu adalah Secretary. Dibawahnya ada Governor dan Mayor. Setingkat dengan Mayor yang mengrusi kota, ada Bupati yang mengurusi kabupaten. Saya kira stop sampai disitu, saya tidak melihat ada Camat atau Lurah. Apa lagi RT dan RW. Menurut pengamatan saya melawat ke negeri-negeri yang telah saya kunjungi, RT dan RW itu hanya ada di Indonesia saja. Apalagi kepala Kampung, Kepala Dusun dan Carik, Kamituwa, Kepetengan dan seterusnya. KTP yang mengeluarkan adalah Admistrasi Kota / Kabupaten. Titik. KTP hanya nama dan alamat, tidak ada kolom Agama. Agama adalah urusan pribadi.
Ada sedikit joke:
"Ada lho, yang ketua RW dan Ketua RTnya bahkan hansipnya semuanya orang China."
"Dimana itu, Bah?"
"Ah, ya di Republik Rakyat China sana!!"

Anwari Doel Arnowo - Singapura 4 Nopember, 2006

Tuesday, October 27, 2009


Anwari Doel Arnowo - Rabu, 28 Oktober, 2009

Biaya hukum dan hak paten

Saya membaca majalah Readers’ Digest sejak tahun 1956/1957an. Meskipun tidak terus menerus, saya suka sekali membacanya. Salah satu joke-nya yang saya ingat: Ada cerita mengenai seorang asal Scotlandia yang terkenal mempunyai sifat berlebihan miser-nya alias pelitnya. Cerita mengenai taruhan si suami dengan seorang pilot pesawat biasa, bermesin tunggal, di depan dengan baling-baling di hidung pesawat, di tengah. Jalan ceritanya persis seperti yang ada di cerita di bawah ini, akan tetapi dua hal yang membedakannya hanya angka 5 Shilling adalah 50 Dollars dan pesawatnya sekarang berubah menjadi helicopter.

Di internet saya melihat banyak cerita lain yang telah dimodifikasi seperti ini, akan tetapi, saya merasakan saat ini terlalu banyak. Cerita lucu Jawa Timuran, lakonnya orang Suroboyo seperti Cak Wonokairun dan lain-lain, ceritanya sebagian adalah saduran, contekan dan plagiat dan lain-lain istilah yang kurang sedap, dari lelucon orang Barat. Semua yang tidak kita setujui dalam alam merdekanya Republik Indonesia ini, sebaiknya dibiarkan saja, karena mungkin sudah seperti penyakit kanker, menyebar ke seluruh tubuh Negara kita.

Yang melakukan modifikasi di bawah ini pasti orang yang mengerti bahasa Inggris di atas rata-rata orang asal Indonesia atau malah orang yang sehari-harinya memang berbahasa Inggris.

FIFTY DOLLARS is fifty dollars!

Morris and his wife Esther went to the state fair every year,and every year he would say: Esther,I'd like to ride in that helicopter. Esther always replied, I know

Morris,but that helicopter ride is fifty dollars,and fifty dollars is fifty dollars.

One year Esther and Morris went to the fair,and Morris said; Esther, I'm 85 years old, if I don't ride that helicopter, I might never get another chance.. To this Esther replied:'Morris that helicopter ride is fifty dollars, and fifty dollars is fifty dollars'.

The pilot overheard the couple and said; 'Folks I'll make you a deal. I'll take both of you for a ride, if you can stay quiet for the entire ride and don't say a word I won't charge you a penny! But if you say one word it's fifty dollars. Morris and Esther agreed and up they went.

The pilot did all kind of fancy maneuvers but not a word was heard. He did his daredevil tricks over and over again,but still not a word. When they landed,the pilot turned to Morris and said; 'By golly,I did everything I could to get you to yell out,but you didn't, 'I'm impressed'.

Morris replied, 'well,to tell you the truth,I almost said something when Esther fell out,but you know, fifty dollars is fifty dollars.

Saya menulis yang di atas bukan dengan maksud apa-apa, tetapi amat heran mengapa mesti dimodifikasi dengan cara diam-diam. Apalagi seingat saya, cerita aslinya amat baik dan persis sama-sama orang pelit asal Scotland. Mengapa tidak disebut saja ini adalah hasil modifikasi atau saduran dari anu anu.

Rasanya lebih nyaman. Saya sendiri sudah melakukan sebisa mungkin dengan cara menyebutkan bahwa saya memetiknya dari Wikipedia atau Google atau Yahoo ! atau koran anu dan koran itu.

Nggak apa-apa kok.

Tidak kekurangan gengsi

Perlu anda ketaui bahwa dalam bentuk tidak tertulis, lisan, saya juga sering menceritakan jokes yang saya dapat dari tertulis, karena saya yakini para pendengar bukan pembaca dari apa yang saya baca. Bukankah malah membantu?

Dalam situasi begini ini, saya berpikir keras apakah saya juga terikut sudah menjadi seorang yang memodifikasi, menyadur, mencontek bahkan memlagiat ?? Apakah yang disajikan di media umum itu sudah menjadi milik umum atau belum. Kalau bisa diproteksi, apa sih payung hukumnya ?? Kalau seseorang menuntut kasus seperti ini, bisakah Undang-Undang yang ada melindungi dan mengakomodasinya ? Maaf, saya masih pesimis.

Tulisan-tulisan karangan saya sendiri sudah beratus-ratus judul, saya tuliskan di internet dan saya secara ikhlas tidak akan menuntut apa-apa kalau ada orang akan memodifikasi atau mencurinya. Dengan mengambil sikap seperti ini, apakah saya ini seorang Santo, seorang suci tanpa dosa atau seorang dermawan à itu bukan saya yang bisa menilai. Saya punya perasaan kuat bahwa saya akan tidak berdaya terhadap hal seperti ini, karena kalau toh saya lakukan maka saya akan harus mengeluarkan biaya fee untuk pengacara dan para alat negara yang menanganinya.

Masalah hukum, baik resmi atau tidak resmi, seperti biaya cetak mencetak, biaya perjalanan mengurusnya, harus tersedia dananya. Harus tunai - cash.

Perkara belum tentu menang dan malah belum tentu akan mendapat gratifikasi yang bisa menutupi ongkos-ongkos perkaranya ..

Ini saya ambil dari contoh dua pihak yang ‘berkelahi’ yang puncaknya selama lebih dari tiga tahun.

Satu pihak berdiam di Singapura seorang warga negara Inggris dengan seorang Australia. Inti perkaranya adalah masalah yang terjadi pada tahun 1996an. Sekitar dua tahun yang lalu, kedua orang itu, dua-duanya bule, mengunci diri di dalam kamar sebuah hotel di Perth, hanya berdua. Mencocokkan data, beradu argumen, berteriak, menangis dan lain-lain dalam mempertahankan kebenaran masing-masing, selama delapan jam. Alhasil setelah dengan tuntas menyelidiki kondisi keuangan yang dituntut (si Australi – umurnya sekitar 80an saat ini), terbukti secara hukum, juga sudah diperiksa dengan teliti di Bank-Bank dan lain-lain dengan ijin Pengadilan Western Australia, si Australi sekarang memiliki uang yang minim. Tuntutan si Inggris tidak bakal terpenuhi, kecuali bila kemudia ada bukti baru yang berlawanan. Saya mengenal benar mereka berdua ini, karena dua-duanya teman saya, dan saya duga kedua-duanya sekarang sedang letih, lelah dan lesu. Tetapi si Australi ini telah saya golongkan sebagai penipu juga karena ada juga hak saya yang terikut di ‘ambil’ olehnya, dengan sengaja. Saya tidak menuntutnya, karena saya tau apa yang akan terjadi kalau iya, saya berbuat seperti itu. AKIBATnya: Selama ribut menggunakan lawyers di Perth, London, Toronto dan kota-kota lain, Detective (Kroll??) yang memakan biaya banyak, kedua pihak telah menghabiskan uang sebesar paling sedikit dua juta setengah US Dollar masing-masing.

Biarpun hak saya yang hilang oleh si Australi itu tidak kurang dari setengah juta US, kalau saya menuntut, rasanya saya akan harus mengeluarkan biaya lebih besar, malah jauh lebih besar dari hak saya. Dan dia sekarang bukan orang kaya lagi.

Beruntunglah saya tidak menuntutnya.

Lebarkanlah horizon anda seperti yang telah saya lakukan.

Anwari Doel Arnowo - Rabu, 28 Oktober 2009

Friday, September 25, 2009




thursday, september 24, 2009

Ditulis tahun 2005. Diconfirm Moammar Khadafy kemarin 24/09/09

UNO - PBB

Created by Anwari Doel Arnowo Sabtu, 12/11/2005 18:24:37

Dahulu sekali, pernah menjadi bahan tertawaan orang yang sedang belajar bahasa Inggris apabila seseorang bertanya: “You know?” Jawabnya: “Kalau UNO kan PBB !” Ini karenabunyinya you know akan tetapipikirannya UNO, United Nations Organization - Perserikatan Bangsa Bangsa yang berkedudukan di New York, Amerika Serikat. Saya ingat bahwa Presiden Indonesia pernah tidak disukai oleh negara-negara Barat karena gerakannya dalam mengupayakan kemerdekaan negara-negara yang tadinya terjajah oleh bangsa dan negara lain. Seperti terbukti dalam sejarah bangsa-bangsa terjajah biasanya dijajah oleh salah satu negara Barat, baik Amerika, Inggris dan Eropa lainnya. Dia, Bung Karno terasa menjadi duri dalam daging bagi orang-orang dari bangsa Barat. Oleh karena pola pikir orang Barat ini hanya ada dua macam Blok bangsa, yakni yang termasuk Blok anti Komunis dan termasuk Blok pro Komunis, maka amat susah bagi yang tidak mau mengikuti Blok manapun. Bung Karno dengan sobat-sobatnya di Cina, India, Afrika dan Uni Sovyet akhirnya amat dibenci oleh Inggris dan Amerika. Ada Konferensi mengenai niatan membentuk persatuan negara-negara Non Blok dan Bung Karno ditunjuk sebagai utusan yang menerangkan kepada pihak Amerika Serikat. Beliau dari arena Konferensi langsung terbang ke Gedung Putih dan menemui Presiden Amerika Serikat. Dalam kapasitasnya mewakili Konferensi yang merepresentasikan lebih dari separuh penduduk dunia waktu itu, Bung Karno tidak disilakan masuk bertemu dengan Prediden Amerika Serikat.

Dengan sikap kurang ajar sekali Presiden Amerika Serikat waktu itu Dwight D. Eisenhower membuat Bung Karno menunggu sampai lebih dari satu jam lamanya di Gedung Putih sebelum bertemu dengan Ike (julukan si Dwight) ini.

Begitulah asal muasal penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh negara-negara Barat kepada Bung Karno, sehingga Bung karno dan kawan-2nya bersikeras membentuk organisasi baru dengan sebutan N E F O (New Emerging Forces Organization). Dalam pidatonya dimana-mana termasuk didepan Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa, Bung karno mempromosikan NEFO nya dan dalam salah satu pidatonya yang emosional, Presiden kita yang gagah, berani dan pantang mundur ini, malah menganjurkan agar Markas Perserikatan Bangsa Bangsa ini dipindahkan saja keluar dari bumi Amerika Serikat. Dunia gempar dan negara-negara pun Asia dan Afrika mendukung penuh.

Perserikatan Bangsa Bangsa didirikan pada tahun 1945 setelah selesainya pembuatan Charter United Nations Conference on International Organization di San Francisco. Conferensi yang dihadiri oleh 50 negara akhirnya meratifikasi Charter dan ditandatangani oleh China, Perancis, United Kingdom, Sovyet Union, Amerika Serikat dan sebagian besar Negara-Negara peserta yang hadir dan secara resmi menyatakan PBB berdiri pda tanggal 24 Oktober 1945. Didalam Perserikatan ini dibentuk enam organ utama, yakni:

1. General Assembly

2. Security Council

3. Economic and Social Council

4. Trusteeship Council

5. International Court of Justice

6. Secretariat

Dibawahnya masih ada sejumlah lima belas agencies lagi yang menjalankan program-program dan badan-badan lain.

Sebagai contoh, anggaran PBB pada tahun 2000 – 2001 adalah sekitar 2 milyard 535 juta Dollar Amerika. Dari mana dana ini diperoleh?

Dana diperoleh dari kontribusi Negara-Negara Anggota yang penaksiran atas skala prioritasnya harus disetujui oleh General Assembly.

Oleh karena keadaan ekonomi masing-masing Negara tidak selalu stabil maka, kontribusi ini mungkin pada suatu saat tidak dapat diperoleh sepenuhnya seperti yang disetujui oleh General Assembly. Ada utang dan ada piutang antara Negara Anggota dan PBB. Utang dan piutang ini terjadi juga karena setuju atau tidak setujunya terhadap tindakan-tindakan PBB untuk suatu peristiwa yang harus diambil tindakan. Banyak negara mulaimengemplang (tidak membayar kewajibannya) karena mengaitkan dengan tindakan PBB yang tidak disetujuinya. Seperti soal Sinai dan soal Congo dan lain-lain. Kejadian seperti ini sering terjadi dan menyebabkan PBB kekurangan dana yang cukup signifikan. Selama dasawarsa terakhir ini PBB jalannya terseok-seok karena kekurangan dana. Hal ini dilaporkan oleh Under Secretary-General PBB bernama Catherine Bertini yang dengan sangat terpaksa mengatakan bahwa stabilitas finansial dari PBB sedang berada dibawah tekanan yang hebat. Bagaimanakah PBB dapat mengatasi hal ini?? Arrears (tunggakan)nya pada tanggal 30 September 2004, berada pada sekitar 3.14 Milyard Dollar Amerika!! Tahukah anda bahwa yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa adanya sebuahnegara pengutang yang terbesar.Ternyata Negara Adikuasa bernama Amerika Serikatlah yang terbukti menduduki peringkat sebagai pengutang terbesar, yang angka tunggakannya yang pada hari itu adalah sebesar 1.16 Milyard Dollar Amerika. Padahal dua tahun sebelumnya secara sungguh-sungguh semua negara anggota berharap agar PBB berbuat sesuatu yang signifikan mengenai persoalan Amerika dengan Irak, yang dituduh dengan segala macam sebutan yang jelek. Ternyata PBB sikapnya banci dan terjadilah penyerbuan ke negara Irak, yang merupakan sebuah bentuk penjajahan bentuk baru.

Sebuah penjajajahan bentuk baruyang dilakukan oleh sekutu-sekutu Amerika Serikat, yang selalu menyebut diri mereka sebagai pahlawan Demokrasi atau democrazy yakni: Inggris, Australia dan Jepang dan lain-lain. Mereka menyerbu dan memusnahkan rezim Saddam Husein yang sekarang sedang diadili dengan tidak adil. Seluruh dunia ikut-ikutan banci.

Meneliti data-data diatas, saya ingin mengulangi anjuran Bung Karno, agar Markas Besar PBB segeradipikirkan dan ditindak-lanjutiuntuk secepatnya agar dipindahkandari bumi Amerika Serikat.

Sekarang ini amat susah sekali memisahkan mana yang PBB dan mana yang Amerika Serikat. Amerika Serikat sudah seperti economic animal, sehingga tanpa rasa segan sedikitpun mengarang cerita weapon of mass destruction dan axis of evil segala macam, PBB malah diam saja. Saya mengerti setelah 60 tahun bercokol di Amerika Serikat, tidak mudah memenuhi usul Bung Karno dan dorongan saya tersebut. Kalau mengenai fasilitas tempat cukup banyak yang dapat memenuhi syarat. Mengenai masalah fasilitas tempat dan Sumber Daya Manusia di Eropa, Paris atau Geneva memilikinya. Di Asia bisa Shanghai atau Singapura. Bahkan kalau memang perlu membangun kembali fasilitas-fasilitas yang diperlukan, Indonesia mungkin mau menyumbangkan salah satu pulaunya. Silakan pilih saja. Salah seorang teman saya berkebangsaan Australia yang baru berkunjung ke Shanghai, menggambarkan kepada saya bahwa Shanghai setara dengan duapuluh Singapura. Amerika Serikat beruntung atas keberadaan Markas Besar PBB di New York, secara gengsi maupun finansial, tetapi tega mengemplang utang sebesar satu koma enambelas milyard Dollar Amerika, yang dimulai sejak Pemerintahan Ronald Reagan

Created by Anwari Doel Arnowo

---ooo000ooo---

PBB dan AS Dikecam
Kompas
Jumat, 25 September 2009 | 03.17 WIB

New York, Kamis - Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York berlangsung dramatis dan heboh, seolah bukan lagi forum untuk saling mendengarkan. Pemimpin Libya, Moammar Khadafy, yang sedang berpidato ditinggal pergi delegasi Israel. Utusan Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian delegasi negara lain pun keluar ketika Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berpidato.

Ketika PBB dan banyak negara gencar menyerukan persatuan global, Khadafy dan Ahmadinejad mengecam keras PBB dan AS. Dunia dinilai semakin tidak adil karena hanya dikendalikan lima kekuatan, yakni lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB—AS, Rusia, China, Inggris, dan Perancis—yang oleh Khadafy disebut sebagai ”dewan teror”. Ia mengusulkan agar sekretariat DK PBB dipindahkan ke Libya.

Khadafy dalam pidato pertamanya di PBB, setelah 40 tahun sebagai pemimpin otokrat Libya, mengecam badan dunia itu karena gagal mencegah 65 perang yang terjadi sejak PBB berdiri tahun 1945.
Ia menyerukan reformasi DK dan menghapus hak veto lima anggota tetapnya.

Ia pun mengusulkan keanggotaan DK diperluas atau ditambah agar lebih representatif untuk menampung suara dari Afrika, Amerika Latin, Arab, dan negara-negara Islam lain. Lembaga ini tidak boleh disebut DK, tetapi dari sepak terjangnya selama ini pantasnya disebut ”dewan teror” saja. Sebab, dengan menggunakan hak veto, kelima negara anggota DK itu menganggap negara-negara lain sebagai negara yang hina dan negara kecil yang tidak perlu dipedulikan lagi hak-haknya.

Merobek salinan piagam

”Hak veto menyalahi Piagam PBB, kita tidak boleh menerimanya atau mengumumkannya,” kata Khadafy melalui penerjemah. Ia merobek salinan Piagam PBB yang sengaja dipersiapkannya. Pada saat itu pula, untuk membalas tindakan Khadafy, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown berteriak dengan keras, ”Saya berdiri di sini untuk menegaskan lagi, Piagam PBB tidak untuk disobek.”

Pemimpin Libya itu lalu mengecam aksi militer AS di Irak dan Vietnam karena melakukan pembantaian massal dan meminta pelakunya diadili.
Ia curiga, flu A-H1N1 sengaja dibuat di laboratorium sebagai senjata rahasia. Ia juga meminta PBB segera mengusut tuntas pembunuhan keji terhadap almarhum Presiden AS John F Kennedy tahun 1963, pejuang hak-hak sipil AS Martin Luther King tahun 1968, dan Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjold tahun 1961.

Selain itu, Khadafy juga mengusulkan pemecahan masalah Israel-Palestina dengan membentuk negara bernama Isratina, yakni gabungan antara Israel dan Palestina menjadi satu negara berdaulat. Pada saat itulah semua delegasi Israel berjalan keluar dari ruangan sidang. Setelah mengecam dan menyampaikan sejumlah usulan itu, ia memuji dan berharap Presiden Barack Obama menjadi presiden AS seumur hidup.

Pemimpin Libya itu berbicara setelah Presiden Obama, yang memang diberikan kesempatan pertama untuk menyampaikan sambutan. Obama menyerukan ”era baru” dalam hubungan antarnegara.

Obama mengatakan, sejak menjadi presiden AS pada Januari lalu, ia selalu bekerja sama dengan negara lain dan tidak lagi bekerja sendiri. Misalnya, AS melarang penyiksaan, memberikan bantuan ke Afganistan dan Pakistan, menghentikan perang Irak, bekerja sama dengan Rusia mengurangi senjata nuklir, serta bertekad mengurangi emisi gas buang yang ternyata merusak lingkungan.

Menurut Obama, saatnya kini semua negara dan bangsa di dunia berperan bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan global. Ia mengatakan, tantangan global sangat besar dan semua negara harus bekerja sama mengatasi berbagai masalah itu. Semua harus bergerak menuju dunia tanpa senjata nuklir, mengatasi ancaman perubahan iklim, dan menangkal krisis global yang lebih luas, yang dapat menyebabkan 100 juta orang di dunia jatuh miskin dalam tahun 2009.

”Raja para raja”

Pada saat Presiden Obama berpidato, semua tempat duduk di ruangan Sidang Majelis Umum PBB dipadati peserta. Namun, ketika giliran Khadafy berpidato, yang diperkenalkan sebagai ”raja para raja” (king of kings) oleh Ketua Sidang Majelis Umum PBB Ali Treki—yang juga berasal dari Libya—ruangan sidang cukup lengang, antara lain, karena aksi boikot oleh delegasi Israel.

Kecaman terhadap PBB dan kebijakan AS juga disampaikan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Ia dengan tegas menuding ”kapitalisme rakus” AS bersama sekutunya di Eropa dan Israel telah merampas tanah milik bangsa Palestina. Meski demikian, ia juga mengulurkan tangan persahabatan kepada negara mana saja yang dengan jujur mengakui eksistensi negara di belahan lain jagat ini.

Ia menyerukan perlucutan senjata nuklir global dengan mengatakan, senjata nuklir adalah sumber ancaman dan ketidakstabilan di dunia. Jika negara-negara Barat menuduh Iran secara diam-diam telah membangun senjata nuklir, tudingan itu tidak benar.

Ahmadinejad mendesak Presiden Obama memandang Iran sebagai sahabat potensial, bukan ancaman. Ketika ia mengumumkan komitmen baru negerinya untuk menciptakan apa yang disebutnya ”sebuah perdamaian sejati dan keamanan bersama untuk semua bangsa”, pidatonya itu menyinggung sikap anti-Israel dan antibahasa Semit. Hal itu mendorong delegasi Israel, AS, dan sebagian besar delegasi dari beberapa negara keluar ruangan.

Kecaman terhadap AS pernah dilontarkan Presiden Venezuela Hugo Chavez. Jika pada waktu lampau dia memberi cap kepada presiden AS terdahulu, George W Bush, sebagai ”iblis” (the devil), kemarin dia memberikan sejumlah sentimen positif terhadap Presiden Obama. Namun, ia juga menyindir, Gedung Putih dan kebijakan luar negeri AS tampaknya tidak begitu tegas menyampaikan kata-kata bijak Obama.

”Kadang-kadang kita mendapatkan sensasi seolah-olah ada dua Obama. Seorang di antaranya pandai menebar pidato dengan kata-kata yang indah. Namun, seorang lain lagi membuat keputusan-keputusan yang sangat kontras dengan apa yang dia sampaikan dalam setiap pidato itu,” ungkap Chavez menyindir.

Ia menambahkan, saat Obama berbicara tentang perdamaian, semua harus bertepuk tangan. Namun, lanjutnya, jika Obama mengedepankan perdamaian, lalu kenapa AS membangun tujuh pangkalan militer di Kolombia. ”Saya katakan kepada Obama, mari kita menjalin dialog sejati. Saya katakan, ’Obama, mari kita berdialog. Mari kita bekerja sama secara jujur untuk mempromosikan perdamaian’! Namun, saya berharap kepada Tuhan... bahwa Obama bisa menjadi penghasut untuk sebuah proses perubahan internal.”

Sidang PBB dibuka Sekjen PBB Ban Ki-moon yang dihadiri para pemimpin dunia dan diplomat dari 192 negara anggota PBB. Lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan hadir dalam pertemuan tingkat menteri yang ke-64 ini. Dia mengajak anggota PBB agar bersama-sama mengatasi krisis pangan dan keuangan global, krisis energi, serta wabah flu A-H1N1. Hampir semua pemimpin negara menyerukan perdamaian di seluruh jagat. (AP/AFP/REUTERS/BBC News/VOA News/CAL)

Tuesday, September 22, 2009


Marine charged with faking war wounds for gain



In this July 22, 2008 photo, U.S. Marine Sgt. David Budwah, right, along with AP – In this July 22, 2008 photo, U.S. Marine Sgt. David Budwah, right, along with Marine Corp League Chaplain …

SABILLASVILLE, Md. – On a sultry day in July 2008, Marine Sgt. David W. Budwah strode in his battle fatigues to the front of a picnic pavilion to tell three dozen young boys what he did during the war.

With his clear gaze, rigid posture and muscled, tattooed arms, Budwah looked every inch the hero he claimed to be. He said he was on his second tour of duty in Afghanistan when a homemade grenade exploded, wounding his face and arm when he dove to shield a buddy from the blast.

"We're here to make sure of the freedom you have every day," Budwah told his audience at Camp West Mar, a wooded American Legion compound about 60 miles northwest of Washington.

But the Marines say Budwah is a liar, a fraud and a thief. They are court-martialing the 34-year-old Springhill, La., native, alleging he was never in Afghanistan, wasn't wounded and didn't earn the combat medals he wore — or the many privileges he enjoyed.

Budwah joined the Marines in October 1999 and spent nearly all of the next six years with a radio communications unit inOkinawa, Japan, according to the Marine Corps Base in Quantico, Va., where Budwah has been stationed since February 2006.

Phony heroes aren't unusual. Thousands of complaints pour in annually to the FBI and civilian groups about impostors flaunting store-bought medals.

Their very prevalence exposes something else — a nation so eager to embrace its war fighters, especially the wounded, that it sometimes fails to discern between the real heroes and the fakes.

"In every society in history, the warrior is glorified," said phony-hero debunker B.G. "Jug" Burkett of Plano, Texas. "The second you say you're a warrior who has performed heroically in combat, everybody perceives you differently."

Burkett, 65, a Vietnam veteran and author of the 1998 book, "Stolen Valor," said the urge to honor the wounded can cloud a person's judgment.

"I tell reporters that when you've got a guy who's vocal — 'Let me tell you how I won my Silver Star' — your antenna should go up," Burkett said. "The real guys typically don't talk about it."

Budwah's case is remarkable because he is an active-duty Marine facing military justice, not a civilian charged with wearing unearned medals. Of nearly 3,100 courts-martial last year in the four major armed services, only 27 were trials for wearing illegal decorations. Just two involved Marines.

Prosecutors say Budwah wore unauthorized medals and accepted VIP invitations to rock concerts, major-league baseball games, banquets and other events meant to fete wounded warriors.

He faked post-traumatic stress disorder in hopes of leaving service early and was sent to the National Naval Medical Centerin Bethesda, where he bluffed his way into 33 events from late July through November 2008, according to charges obtained by The Associated Press through an appeal of its Freedom of Information Act request.

Bethesda hospital spokesman Chris Walz said the staff tries to involve as many patients as possible in such activities, which range from free NFL tickets to speaking engagements like Budwah's at Camp West Mar.

The charges include making false official statements, malingering, misconduct and larceny. Budwah faces up to 31 1/2 years in prison and a dishonorable discharge if convicted on all eight counts at a trial set for Oct. 20. at Quantico.

Budwah, who declined to enter a plea at his Aug. 5 arraignment, denied wrongdoing in a brief telephone interview in April. "The allegation is not even true," he said, declining to comment further.

Defense attorney Marine Capt. Kelly Repair and prosecutor Marine Capt. Thomas Liu also have declined to comment.

Recent prosecutions of active-duty service members include Dontae L. Tazewell, a Navy hospital corpsman sentenced in January 2008 in Norfolk, Va., to two years in prison for wearing an unearned Purple Heart and other decorations. Tazewell falsely claimed he had rescued six Marines and recovered the bodies of four others in Iraq.

Prosecutors portrayed him as a failing sailor so desperate to remain in service that he fabricated the story.

Navy corpsman Robert White, got 45 days in the brig after pleading guilty in December at Great Lakes Naval Station, Ill., to wearing a Purple Heart he bought. A former girlfriend testified White obtained the medal after he was shunned by his peers for assaulting her, the Navy Times reported.

People fabricate military injuries for many reasons, including laziness, greed, sympathy and psychosis, said Loren Pankratz of Oregon Health & Science University, who wrote about PTSD impostors in his book, "Patients Who Deceive."

"A more common theme would be somebody who would represent sort of the antihero — the guy who's given his all and yet been abused and misunderstood," Pankratz said.

Burkett said others are simply con men.

Walter E. Boomer, who served as assistant commandant of the Marine Corps from 1992 to 1994, vaguely remembers meeting Budwah in November when they were guests at a Grand National Waterfowl Association benefit on Maryland's Eastern Shore. They shot at ducks, drank and dined with other VIPs and shotgun manufacturing executives.

"I accepted his story at face value," Boomer said. "Nothing that I recall would have set off alarm bells."

Budwah again managed his way to the center of attention at a September 2008 boxing event in Glen Burnie, Md. Organizer Scott Wagner said the highlight of the night was when he brought Budwah and dozens of other military hospital patients into the ring for a standing ovation.

"Were they injured or not? I don't know and I really don't care. If half of them were injured, I still feel good about it," he said.

A year after Budwah's speech to the youngsters at the American Legion camp, Spencer Shoemaker sat stunned in the family's kitchen as he read the charges against his Marine idol for the first time.

Shoemaker, then 10, was so impressed he had his picture taken with Budwah and kept a treasured newspaper clipping about the visit. He said Budwah's talk made him want to join the Marines.

"Well, it's better that I know," the boy said after a long silence. "It did tear me down, but I'll still join the Marines."

His father Michael, a construction worker, seethed at the news about Budwah.

"He scammed America," Shoemaker said. "He scammed a kid."



Anwari Doel Arnowo
a_arnowo@yahoo.com
Indonesia

Sunday, September 20, 2009


Yang masuk melalui email pada tanggal 20/09/09. patut direnungkan. Siapakah Tuhan, mengapa kita tidak mampu melihatnya?? Mengapa Tuhan tidak pernah menampakkan wujudnya, sehingga manusia bisa melihatnya denga mata?? Karena kita harus melihatnya dengan mata hati, dengan akal, dengan daya pikir dan dengan kelembutan hati?? Begitukah??

Anwari Doel Arnowo 21/09/09


The New Reality

by Owen Waters

Did you ever stare at the night sky and wonder how many stars

there are out there?

Thanks to astronomy today, we have a good estimate of the

number of stars in the entire universe. At the last count,

there are more than seventy thousand, million, million,

million stars.

How do we, as human beings, wrap our minds around the enormity

of that? How do we even attempt to envision something that

large?

The universe measures more than fifteen billion light-years

across, which means that it would take a particle of light

fifteen billion years to travel that distance. Or would it?

At the subatomic or quantum level of reality, light doesn't

travel like you'd think it does. Light only appears when

someone is there to look at it. The rest of the time it is

nowhere to be seen. Light actually exists outside of space

and outside of time. That means that space and time are

perspectives seen by the observer, but not by the light

particle. Light particles routinely dodge around the

space-time constraints under which we assume that they exist.

Inner consciousness is the new frontier of discovery today.

Inner consciousness is not something small which is crammed

inside the human brain. It is bigger than the universe,

because it contains all of Creation. Outer space is merely a

projection of consciousness. Inner space is the consciousness

doing the projecting. That's why light particles appear to

have traveled fifteen billion light-years across the universe

in order to reach us as observers. Because we interpret them

that way in our consciousness. We construct reality according

to those perceptions.

The Shift occurring in consciousness today includes a shift to

the perspective that all life is a construct of consciousness.

The fabric of the universe, the primal Field, was created by

consciousness and is held in existence by consciousness. The

entire universe is the consciousness of the Creator.

Because space is a perspective of consciousness, it is not

really "out there," it actually exists within you. You have

one view of that field of consciousness from a viewpoint that

is unique to your personality. That view comes complete with

an apparent location in space and an apparent location in

time.

We are approaching a global paradigm shift where the world

realizes that everything is made up of consciousness.

Consciousness creates energy, it creates matter, and it

creates the perspectives of space and time.

Spiritual philosophies already see the universe as the

consciousness of the Creator. When science takes its next step

and sees the consciousness that underlies all phenomena, then

we will once again have a common link between science and

spirituality.

Wednesday, September 16, 2009

Anwari Doel Arnowo menyanyikan Too Young
diiringi guitarist andal Widjanarko

Harian Kompas tanggal 16/09/09, kolom OPINI
berjudul:

"Klaim" Budaya Itu, Sekali Lagi

Oleh Radhar Panca Dahana

Supaya tidak terjebak dalam siklus kata-kata yang tidak produktif, kasus ”klaim tari pendet oleh Malaysia” ada baiknya mengklarifikasi satu hal: klaim yang diributkan itu sebenarnya tidak ada.

Promo wisata Malaysia yang dibuat Discovery Channel tidak menyebutkan ikon-ikon budaya Indonesia yang ditampilkan sebagai milik, karya cipta, atau hak budaya mereka. Hal itu hanya dilakukan untuk kepentingan komersial/bisnis.

Untuk soal seperti ini, sebenarnya terlampau kerap kita menjumpai kasus serupa, tanpa kita keberatan. Promo wisata Singapura, misalnya, tak terhitung frekuensinya menggunakan gambar/video karya budaya Indonesia, termasuk wayang dan tari pendet. Tak ada keributan. Sebagaimana kita tahu, dalam propaganda politiknya, Nelson Mandela hadir di media massa global mengenakan batik. Atau museum di Paris dan Barcelona mempromosikan gamelan sebagai ikon utamanya.

Dalam sebuah pergaulan budaya, sejak ribuan tahun, soal jiplak-menjiplak adalah hal lumrah, bahkan menjadi kewajaran kebudayaan. India tidak pernah marah saat orang Jawa menyatakan Mahabarata atau Ramayana adalah ekspresi kultural, bahkan sumber identitas.

Rabindranath Tagore, pada awal abad ini, setelah berkeliling Jawa, menegaskan kepada sejawatnya, Sanusi Pane cs, tentang sasus ada ”India kecil” di kawasan tenggara. ”Dusta. Itu bukan India,” tegasnya, ”itu Jawa, yang bahkan India sendiri tidak mampu membuatnya.”

Begitupun China tidak marah dengan banyak ekspresi budaya Indonesia yang diambil darinya, mulai sisingaan di Subang, beduk, baju koko, hingga—menurut Remy Silado—nada musik slendro. Apakah keroncong membangkitkan amarah orang Portugis? Bagaimana dengan musik gambus, marawis, sastra Bali, seni Betawi, hingga gaya harajuku anak muda masa kini?

Kekuatan unik kita

Pada persoalan penciptaan, sebuah karya budaya, seperti seni, dalam waktu dan ruang tertentu akan bergeser—bahkan secara yuridis—menjadi milik atau wilayah publik. Perluasan ruang dan waktu itulah yang membentuk magnitude dari sebuah karya, yang nilai dan penghargaannya melampaui jumlah tiket, piala, atau sekadar besaran royalti.

Terlebih bila karya itu dire-kreasi pihak lain—yang mungkin asing—untuk kemudian menjadi medium aktualisasi diri, bahkan hingga tingkat identifikasi diri. Sebenarnya dengan itu sebuah karya telah mencapai kulminasi pencapaian kreatifnya.

Maka sebenarnya amat mengagumkan, bahkan membanggakan, bila sebuah karya, katakanlah Für Elise-nya Beethoven, menjadi romansa yang dinyanyikan setiap pencinta di dunia, atau menjadi lagu penanda truk sampah di Taiwan dan Iran, jadi kode penjual gas di Turki dan Brasil.

Kita pun tahu bagaimana lagu-lagu Beatles pernah menjadi ”lagu kebangsaan” generasi bunga akhir 1960-an. Begitupun blues, jazz, rap, atau reggae, yang dimiliki secara subyektif oleh musikus seantero jagat, tanpa membuat masyarakat Harlem, Mississippi, atau Jamaika geram. Karena begitulah cara masyarakat dunia merawat karya-karya terbaiknya di bidang kebudayaan. Begitulah kita bangga pada batik, wayang, atau Borobudur menjadi warisan dunia, menjadi milik dunia, dimanfaatkan dan dipelihara masyarakat dunia.

Dengan alasan ringkas itu, jelaslah bagi kita, jika masalah ”klaim” dilanjutkan, bukan saja akan memukul balik diri sendiri, tetapi juga membuat kita rudin secara kultural. Begitu banyak produk kebudayaan kita dapat dirujuk asal-usul asingnya.

Apa yang mungkin menarik dan ”unik” dari hubungan interkultural yang intensif dan masif di kepulauan ini adalah kemampuan masyarakatnya mengolah, menghibridasi semua khazanah simbolik yang datang dari luar, dalam satu larutan atau produk dengan dengan karakter budaya yang baru. Sebuah kemampuan—juga kekuatan—yang ditemukan di Bali, Sunda, Jawa, Minang, Bugis, Betawi, Banjar, dan Betawi.

Masalah timbul saat untuk kekuatan dan kemampuan ini justru pemerintah minim, bahkan hampir absen, peran dan perhatiannya sehingga bukan saja proses dan kerja kebudayaan mengalami disorientasi secara kolektif, pemerintah pun mengalami krisis karena kehilangan otoritasnya dalam kerja dan proses itu. Krisis ini pula yang akhirnya menjawab pertanyaan kita belakangan ini: mengapa sebagian masyarakat mudah marah untuk masalah yang lumrah?

Kekecewaan publik

Dalam pertemuannya dengan pimpinan MPR, anggota Mufakat Budaya seperti musikus dan aktor senior, Yockie Suryoprayogo dan Sys Ns, mengisahkan, bagaimana dunia musik dan film Indonesia dapat berkembang hingga hari ini semata karena perjuangan keras pelaku kreatifnya. Bila tidak minim, negara nyaris absen. Sebuah keadaan juga dirasakan pekerja sastra, tari, seni rupa, teater, dan lainnya.

Tali-menali dengan persoalan lain di bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya, kenyataan itu menciptakan kekecewaan publik yang dalam bobot tertentu menghancurkan wibawa kebudayaan pemerintah. Kekecewaan itu seperti mendapat justifikasi saat masyarakat melihat kenyataan bagaimana kini pemerintahan mudah dipengaruhi atau dibawa arus besar politik dan ekonomi global. Tanpa resistensi atau semacam tawaran alternatif.

Malaysia pun hadir sebagai penyebab saat dalam upayanya mencapai kedigdayaan politis—sebagaimana kesejahteraan ekonomis yang diraihnya—negeri itu mencoba menggoyahkan otoritas politik Indonesia yang begitu dominan di ASEAN. Berawal dari ”kemenangan besar” merebut Sipadan dan Ligitan, Malaysia mengusik wibawa politik Indonesia bukan cuma di soal kesenian, tetapi juga di Ambalat, di masalah perbatasan, pencurian kayu dan ikan, TKW, hingga simbol-simbol sakral dunia politik, seperti lagu kebangsaan.

Hasilnya? Pemerintah Indonesia seperti kehilangan akal, rapuh dan lapuk harga dirinya. Jalur-jalur diplomatik, militer, atau intelijen seperti mati-angin dalam mengatasinya. Saat media mengangkatnya ke permukaan, kekecewaan itu mengeras menjadi kemarahan publik. Hiruk-pikuk ”klaim” menjadi refleksi kemarahan. Dan Malaysia hanyalah pispot kekecewaan publik yang sebenarnya mengarah secara internal ke pemerintahan sendiri yang terdegradasi wibawanya.

Seyogianya ini menjadi semacam pembelajaran, bangsa dan negara ternyata tidak cukup dan tidak akan selesai hanya pada parsial politis, ekonomis, atau teknologis saja. Kebudayaan terbukti menjadi fundamen yang meneguhkan semua sukses itu. Tanpanya, semua sukses itu akan mengapung, menjadi artifisial, bahkan ilusif di banyak bagian. Apa lantaran itu sebuah bangsa kemudian harus terus tinggal dalam imaji kita saja?

Pemerintah yang berbudaya harus menjawabnya.

Radhar Panca Dahana Sastrawan

Anwari Doel Arnowo

Sedikit tambahan untuk tulisan

oleh Radhar Panca Dahana,

Satu pihak yang biasanya sunyi senyap tetapi justru

dialah sipembuat ingar bingar, sering tidak mengakui,

itu adalah pembawa berita dari media cetak maupun

media elektronik serta televisi.

Kalau dulu orang bilang no news is good news, maka

bagi media no news is no good. Tidak perduli berita

apapun juga akan dimuat. Tidak ada berita maka membuat-

buat agar ada berita, pancing sana pancing sini, sehingga

timbul keributan yang tidak perlu. Keributan meng-

akibatkan kerugian-kerugian materi, kegelisahan, rasa

permusuhan dan apapun orang media itu tidak perduli.

Demi keterbukaan, demi prinsip journalisme, demi meng-

alirnya informasi, jenis apapun, kalau salah kan bisa

dibantah dengan hak jawab. Target berita berarti target

pendapatan uang atau bentuk imbalan lain. Apakah tidak

ada redaktur? Dan apakah tidak ada yang namanya

penyaringan berita?? Saya tidak bisa menjawabnya, tetapi

produk yang bertebaran di media cetak sungguh memprihatinkan.

Saya harap terutama media cetak dan berta televisi mau

memperhatikan, bahwa di dalam masyarakat ada yang bisa

ampuh untuk dipakai dalam bekerja di mana saja:

Kebijaksanaan. Bijaklah dalam menilai berita itu pantas

tayang atau tidak pantas tayang. Alihkanlah berita politik

yang akan menjadi tontonan sandiwara, bisa melihat akan

tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Juga masa konflik agama.

Kalau kedua hal ini disisihkan sebisanya, maka akan banyak

sekali berita yang bisa digali di bidang upaya menunjukkan

informasi peluang bekerja bagi para penganggur. Cara-cara

mencari pekerjaan dan menciptakan kerja bagi diri sendiri.

Sibukkanlah para pembaca untuk meresapi informasi berita

yang akan bisa bekerja dan menghidupi diri sendiri. Itu semua

bisa dikerjakan oleh media cetak maupun elektronik. Kalau

ada peluang bekerja mencari nafkah yang sesuai, maka bukan

aneh kalau justru para pelaku mediapun akan pindah haluan

dan mengganti pekerjaannya dengan peluang kerja yang lebih

menjanjikan seperti itu.

Kadang-kadang menimbulkan pertanyaan besar di dalam pikiran,

apakah orang-orang pelaku media ini sedang panik, karena

internet maju pesat? Bahwa adanya internet, kebutuhan orang

terhadap media cetak akan menurun?? Saya pikir itu semua tidak

akan terjadi. Semua upaya untuk hidup manusia, sarananya akan

tetap ada. Itu dapat diamati sepanjang masa sejak dahulu kala.

Ingat, Internet pun pernah dituduh akan menyebabkan pengangguran.

Tetapi itu kan tidak pernah terjadi? Internet malah menciptakan

efisiensi, keteraturan dan kerapian, itu semua tergantung kepada

manusia penggunanya.

Hilangkanlah berita sampah, yang menyebabkan penonton, hanya

terpaku melihat berita-berita dan publikasi-publikasi orang-orang

politik, berakting dan berakrobat, yang nilainya belum pernah

menaikkan kesejahteraan masyarakat.

Berita soal Malaysia, karena dikelola dengan intelektualisme yang

berkelas rendah, menyebabkan kerancuan dan kepiluan banyak pihak.

Perbaikilah keadaan dengan penanmu yang tajam itu.

Anwari Doel Arnowo - 16 September 2009

2009/9/16

Ini tambahan sampeyan bagus, aku usul dikirim ke media cetak harian2

untuk mengisi rubrik Opini mereka. Sebelum mereka makin kebablasan

menjadikan makin ingar bingar suasananya dan masyarakat yang makin

kebingungan kehilangan arah dan pegangan dalam berpikir dan bersikap.

Sementara pimpinan dan petinggi kita nggak memberikan sikap yang

madani