Friday, September 25, 2009




thursday, september 24, 2009

Ditulis tahun 2005. Diconfirm Moammar Khadafy kemarin 24/09/09

UNO - PBB

Created by Anwari Doel Arnowo Sabtu, 12/11/2005 18:24:37

Dahulu sekali, pernah menjadi bahan tertawaan orang yang sedang belajar bahasa Inggris apabila seseorang bertanya: “You know?” Jawabnya: “Kalau UNO kan PBB !” Ini karenabunyinya you know akan tetapipikirannya UNO, United Nations Organization - Perserikatan Bangsa Bangsa yang berkedudukan di New York, Amerika Serikat. Saya ingat bahwa Presiden Indonesia pernah tidak disukai oleh negara-negara Barat karena gerakannya dalam mengupayakan kemerdekaan negara-negara yang tadinya terjajah oleh bangsa dan negara lain. Seperti terbukti dalam sejarah bangsa-bangsa terjajah biasanya dijajah oleh salah satu negara Barat, baik Amerika, Inggris dan Eropa lainnya. Dia, Bung Karno terasa menjadi duri dalam daging bagi orang-orang dari bangsa Barat. Oleh karena pola pikir orang Barat ini hanya ada dua macam Blok bangsa, yakni yang termasuk Blok anti Komunis dan termasuk Blok pro Komunis, maka amat susah bagi yang tidak mau mengikuti Blok manapun. Bung Karno dengan sobat-sobatnya di Cina, India, Afrika dan Uni Sovyet akhirnya amat dibenci oleh Inggris dan Amerika. Ada Konferensi mengenai niatan membentuk persatuan negara-negara Non Blok dan Bung Karno ditunjuk sebagai utusan yang menerangkan kepada pihak Amerika Serikat. Beliau dari arena Konferensi langsung terbang ke Gedung Putih dan menemui Presiden Amerika Serikat. Dalam kapasitasnya mewakili Konferensi yang merepresentasikan lebih dari separuh penduduk dunia waktu itu, Bung Karno tidak disilakan masuk bertemu dengan Prediden Amerika Serikat.

Dengan sikap kurang ajar sekali Presiden Amerika Serikat waktu itu Dwight D. Eisenhower membuat Bung Karno menunggu sampai lebih dari satu jam lamanya di Gedung Putih sebelum bertemu dengan Ike (julukan si Dwight) ini.

Begitulah asal muasal penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh negara-negara Barat kepada Bung Karno, sehingga Bung karno dan kawan-2nya bersikeras membentuk organisasi baru dengan sebutan N E F O (New Emerging Forces Organization). Dalam pidatonya dimana-mana termasuk didepan Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa, Bung karno mempromosikan NEFO nya dan dalam salah satu pidatonya yang emosional, Presiden kita yang gagah, berani dan pantang mundur ini, malah menganjurkan agar Markas Perserikatan Bangsa Bangsa ini dipindahkan saja keluar dari bumi Amerika Serikat. Dunia gempar dan negara-negara pun Asia dan Afrika mendukung penuh.

Perserikatan Bangsa Bangsa didirikan pada tahun 1945 setelah selesainya pembuatan Charter United Nations Conference on International Organization di San Francisco. Conferensi yang dihadiri oleh 50 negara akhirnya meratifikasi Charter dan ditandatangani oleh China, Perancis, United Kingdom, Sovyet Union, Amerika Serikat dan sebagian besar Negara-Negara peserta yang hadir dan secara resmi menyatakan PBB berdiri pda tanggal 24 Oktober 1945. Didalam Perserikatan ini dibentuk enam organ utama, yakni:

1. General Assembly

2. Security Council

3. Economic and Social Council

4. Trusteeship Council

5. International Court of Justice

6. Secretariat

Dibawahnya masih ada sejumlah lima belas agencies lagi yang menjalankan program-program dan badan-badan lain.

Sebagai contoh, anggaran PBB pada tahun 2000 – 2001 adalah sekitar 2 milyard 535 juta Dollar Amerika. Dari mana dana ini diperoleh?

Dana diperoleh dari kontribusi Negara-Negara Anggota yang penaksiran atas skala prioritasnya harus disetujui oleh General Assembly.

Oleh karena keadaan ekonomi masing-masing Negara tidak selalu stabil maka, kontribusi ini mungkin pada suatu saat tidak dapat diperoleh sepenuhnya seperti yang disetujui oleh General Assembly. Ada utang dan ada piutang antara Negara Anggota dan PBB. Utang dan piutang ini terjadi juga karena setuju atau tidak setujunya terhadap tindakan-tindakan PBB untuk suatu peristiwa yang harus diambil tindakan. Banyak negara mulaimengemplang (tidak membayar kewajibannya) karena mengaitkan dengan tindakan PBB yang tidak disetujuinya. Seperti soal Sinai dan soal Congo dan lain-lain. Kejadian seperti ini sering terjadi dan menyebabkan PBB kekurangan dana yang cukup signifikan. Selama dasawarsa terakhir ini PBB jalannya terseok-seok karena kekurangan dana. Hal ini dilaporkan oleh Under Secretary-General PBB bernama Catherine Bertini yang dengan sangat terpaksa mengatakan bahwa stabilitas finansial dari PBB sedang berada dibawah tekanan yang hebat. Bagaimanakah PBB dapat mengatasi hal ini?? Arrears (tunggakan)nya pada tanggal 30 September 2004, berada pada sekitar 3.14 Milyard Dollar Amerika!! Tahukah anda bahwa yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa adanya sebuahnegara pengutang yang terbesar.Ternyata Negara Adikuasa bernama Amerika Serikatlah yang terbukti menduduki peringkat sebagai pengutang terbesar, yang angka tunggakannya yang pada hari itu adalah sebesar 1.16 Milyard Dollar Amerika. Padahal dua tahun sebelumnya secara sungguh-sungguh semua negara anggota berharap agar PBB berbuat sesuatu yang signifikan mengenai persoalan Amerika dengan Irak, yang dituduh dengan segala macam sebutan yang jelek. Ternyata PBB sikapnya banci dan terjadilah penyerbuan ke negara Irak, yang merupakan sebuah bentuk penjajahan bentuk baru.

Sebuah penjajajahan bentuk baruyang dilakukan oleh sekutu-sekutu Amerika Serikat, yang selalu menyebut diri mereka sebagai pahlawan Demokrasi atau democrazy yakni: Inggris, Australia dan Jepang dan lain-lain. Mereka menyerbu dan memusnahkan rezim Saddam Husein yang sekarang sedang diadili dengan tidak adil. Seluruh dunia ikut-ikutan banci.

Meneliti data-data diatas, saya ingin mengulangi anjuran Bung Karno, agar Markas Besar PBB segeradipikirkan dan ditindak-lanjutiuntuk secepatnya agar dipindahkandari bumi Amerika Serikat.

Sekarang ini amat susah sekali memisahkan mana yang PBB dan mana yang Amerika Serikat. Amerika Serikat sudah seperti economic animal, sehingga tanpa rasa segan sedikitpun mengarang cerita weapon of mass destruction dan axis of evil segala macam, PBB malah diam saja. Saya mengerti setelah 60 tahun bercokol di Amerika Serikat, tidak mudah memenuhi usul Bung Karno dan dorongan saya tersebut. Kalau mengenai fasilitas tempat cukup banyak yang dapat memenuhi syarat. Mengenai masalah fasilitas tempat dan Sumber Daya Manusia di Eropa, Paris atau Geneva memilikinya. Di Asia bisa Shanghai atau Singapura. Bahkan kalau memang perlu membangun kembali fasilitas-fasilitas yang diperlukan, Indonesia mungkin mau menyumbangkan salah satu pulaunya. Silakan pilih saja. Salah seorang teman saya berkebangsaan Australia yang baru berkunjung ke Shanghai, menggambarkan kepada saya bahwa Shanghai setara dengan duapuluh Singapura. Amerika Serikat beruntung atas keberadaan Markas Besar PBB di New York, secara gengsi maupun finansial, tetapi tega mengemplang utang sebesar satu koma enambelas milyard Dollar Amerika, yang dimulai sejak Pemerintahan Ronald Reagan

Created by Anwari Doel Arnowo

---ooo000ooo---

PBB dan AS Dikecam
Kompas
Jumat, 25 September 2009 | 03.17 WIB

New York, Kamis - Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York berlangsung dramatis dan heboh, seolah bukan lagi forum untuk saling mendengarkan. Pemimpin Libya, Moammar Khadafy, yang sedang berpidato ditinggal pergi delegasi Israel. Utusan Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian delegasi negara lain pun keluar ketika Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berpidato.

Ketika PBB dan banyak negara gencar menyerukan persatuan global, Khadafy dan Ahmadinejad mengecam keras PBB dan AS. Dunia dinilai semakin tidak adil karena hanya dikendalikan lima kekuatan, yakni lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB—AS, Rusia, China, Inggris, dan Perancis—yang oleh Khadafy disebut sebagai ”dewan teror”. Ia mengusulkan agar sekretariat DK PBB dipindahkan ke Libya.

Khadafy dalam pidato pertamanya di PBB, setelah 40 tahun sebagai pemimpin otokrat Libya, mengecam badan dunia itu karena gagal mencegah 65 perang yang terjadi sejak PBB berdiri tahun 1945.
Ia menyerukan reformasi DK dan menghapus hak veto lima anggota tetapnya.

Ia pun mengusulkan keanggotaan DK diperluas atau ditambah agar lebih representatif untuk menampung suara dari Afrika, Amerika Latin, Arab, dan negara-negara Islam lain. Lembaga ini tidak boleh disebut DK, tetapi dari sepak terjangnya selama ini pantasnya disebut ”dewan teror” saja. Sebab, dengan menggunakan hak veto, kelima negara anggota DK itu menganggap negara-negara lain sebagai negara yang hina dan negara kecil yang tidak perlu dipedulikan lagi hak-haknya.

Merobek salinan piagam

”Hak veto menyalahi Piagam PBB, kita tidak boleh menerimanya atau mengumumkannya,” kata Khadafy melalui penerjemah. Ia merobek salinan Piagam PBB yang sengaja dipersiapkannya. Pada saat itu pula, untuk membalas tindakan Khadafy, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown berteriak dengan keras, ”Saya berdiri di sini untuk menegaskan lagi, Piagam PBB tidak untuk disobek.”

Pemimpin Libya itu lalu mengecam aksi militer AS di Irak dan Vietnam karena melakukan pembantaian massal dan meminta pelakunya diadili.
Ia curiga, flu A-H1N1 sengaja dibuat di laboratorium sebagai senjata rahasia. Ia juga meminta PBB segera mengusut tuntas pembunuhan keji terhadap almarhum Presiden AS John F Kennedy tahun 1963, pejuang hak-hak sipil AS Martin Luther King tahun 1968, dan Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjold tahun 1961.

Selain itu, Khadafy juga mengusulkan pemecahan masalah Israel-Palestina dengan membentuk negara bernama Isratina, yakni gabungan antara Israel dan Palestina menjadi satu negara berdaulat. Pada saat itulah semua delegasi Israel berjalan keluar dari ruangan sidang. Setelah mengecam dan menyampaikan sejumlah usulan itu, ia memuji dan berharap Presiden Barack Obama menjadi presiden AS seumur hidup.

Pemimpin Libya itu berbicara setelah Presiden Obama, yang memang diberikan kesempatan pertama untuk menyampaikan sambutan. Obama menyerukan ”era baru” dalam hubungan antarnegara.

Obama mengatakan, sejak menjadi presiden AS pada Januari lalu, ia selalu bekerja sama dengan negara lain dan tidak lagi bekerja sendiri. Misalnya, AS melarang penyiksaan, memberikan bantuan ke Afganistan dan Pakistan, menghentikan perang Irak, bekerja sama dengan Rusia mengurangi senjata nuklir, serta bertekad mengurangi emisi gas buang yang ternyata merusak lingkungan.

Menurut Obama, saatnya kini semua negara dan bangsa di dunia berperan bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan global. Ia mengatakan, tantangan global sangat besar dan semua negara harus bekerja sama mengatasi berbagai masalah itu. Semua harus bergerak menuju dunia tanpa senjata nuklir, mengatasi ancaman perubahan iklim, dan menangkal krisis global yang lebih luas, yang dapat menyebabkan 100 juta orang di dunia jatuh miskin dalam tahun 2009.

”Raja para raja”

Pada saat Presiden Obama berpidato, semua tempat duduk di ruangan Sidang Majelis Umum PBB dipadati peserta. Namun, ketika giliran Khadafy berpidato, yang diperkenalkan sebagai ”raja para raja” (king of kings) oleh Ketua Sidang Majelis Umum PBB Ali Treki—yang juga berasal dari Libya—ruangan sidang cukup lengang, antara lain, karena aksi boikot oleh delegasi Israel.

Kecaman terhadap PBB dan kebijakan AS juga disampaikan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Ia dengan tegas menuding ”kapitalisme rakus” AS bersama sekutunya di Eropa dan Israel telah merampas tanah milik bangsa Palestina. Meski demikian, ia juga mengulurkan tangan persahabatan kepada negara mana saja yang dengan jujur mengakui eksistensi negara di belahan lain jagat ini.

Ia menyerukan perlucutan senjata nuklir global dengan mengatakan, senjata nuklir adalah sumber ancaman dan ketidakstabilan di dunia. Jika negara-negara Barat menuduh Iran secara diam-diam telah membangun senjata nuklir, tudingan itu tidak benar.

Ahmadinejad mendesak Presiden Obama memandang Iran sebagai sahabat potensial, bukan ancaman. Ketika ia mengumumkan komitmen baru negerinya untuk menciptakan apa yang disebutnya ”sebuah perdamaian sejati dan keamanan bersama untuk semua bangsa”, pidatonya itu menyinggung sikap anti-Israel dan antibahasa Semit. Hal itu mendorong delegasi Israel, AS, dan sebagian besar delegasi dari beberapa negara keluar ruangan.

Kecaman terhadap AS pernah dilontarkan Presiden Venezuela Hugo Chavez. Jika pada waktu lampau dia memberi cap kepada presiden AS terdahulu, George W Bush, sebagai ”iblis” (the devil), kemarin dia memberikan sejumlah sentimen positif terhadap Presiden Obama. Namun, ia juga menyindir, Gedung Putih dan kebijakan luar negeri AS tampaknya tidak begitu tegas menyampaikan kata-kata bijak Obama.

”Kadang-kadang kita mendapatkan sensasi seolah-olah ada dua Obama. Seorang di antaranya pandai menebar pidato dengan kata-kata yang indah. Namun, seorang lain lagi membuat keputusan-keputusan yang sangat kontras dengan apa yang dia sampaikan dalam setiap pidato itu,” ungkap Chavez menyindir.

Ia menambahkan, saat Obama berbicara tentang perdamaian, semua harus bertepuk tangan. Namun, lanjutnya, jika Obama mengedepankan perdamaian, lalu kenapa AS membangun tujuh pangkalan militer di Kolombia. ”Saya katakan kepada Obama, mari kita menjalin dialog sejati. Saya katakan, ’Obama, mari kita berdialog. Mari kita bekerja sama secara jujur untuk mempromosikan perdamaian’! Namun, saya berharap kepada Tuhan... bahwa Obama bisa menjadi penghasut untuk sebuah proses perubahan internal.”

Sidang PBB dibuka Sekjen PBB Ban Ki-moon yang dihadiri para pemimpin dunia dan diplomat dari 192 negara anggota PBB. Lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan hadir dalam pertemuan tingkat menteri yang ke-64 ini. Dia mengajak anggota PBB agar bersama-sama mengatasi krisis pangan dan keuangan global, krisis energi, serta wabah flu A-H1N1. Hampir semua pemimpin negara menyerukan perdamaian di seluruh jagat. (AP/AFP/REUTERS/BBC News/VOA News/CAL)

Tuesday, September 22, 2009


Marine charged with faking war wounds for gain



In this July 22, 2008 photo, U.S. Marine Sgt. David Budwah, right, along with AP – In this July 22, 2008 photo, U.S. Marine Sgt. David Budwah, right, along with Marine Corp League Chaplain …

SABILLASVILLE, Md. – On a sultry day in July 2008, Marine Sgt. David W. Budwah strode in his battle fatigues to the front of a picnic pavilion to tell three dozen young boys what he did during the war.

With his clear gaze, rigid posture and muscled, tattooed arms, Budwah looked every inch the hero he claimed to be. He said he was on his second tour of duty in Afghanistan when a homemade grenade exploded, wounding his face and arm when he dove to shield a buddy from the blast.

"We're here to make sure of the freedom you have every day," Budwah told his audience at Camp West Mar, a wooded American Legion compound about 60 miles northwest of Washington.

But the Marines say Budwah is a liar, a fraud and a thief. They are court-martialing the 34-year-old Springhill, La., native, alleging he was never in Afghanistan, wasn't wounded and didn't earn the combat medals he wore — or the many privileges he enjoyed.

Budwah joined the Marines in October 1999 and spent nearly all of the next six years with a radio communications unit inOkinawa, Japan, according to the Marine Corps Base in Quantico, Va., where Budwah has been stationed since February 2006.

Phony heroes aren't unusual. Thousands of complaints pour in annually to the FBI and civilian groups about impostors flaunting store-bought medals.

Their very prevalence exposes something else — a nation so eager to embrace its war fighters, especially the wounded, that it sometimes fails to discern between the real heroes and the fakes.

"In every society in history, the warrior is glorified," said phony-hero debunker B.G. "Jug" Burkett of Plano, Texas. "The second you say you're a warrior who has performed heroically in combat, everybody perceives you differently."

Burkett, 65, a Vietnam veteran and author of the 1998 book, "Stolen Valor," said the urge to honor the wounded can cloud a person's judgment.

"I tell reporters that when you've got a guy who's vocal — 'Let me tell you how I won my Silver Star' — your antenna should go up," Burkett said. "The real guys typically don't talk about it."

Budwah's case is remarkable because he is an active-duty Marine facing military justice, not a civilian charged with wearing unearned medals. Of nearly 3,100 courts-martial last year in the four major armed services, only 27 were trials for wearing illegal decorations. Just two involved Marines.

Prosecutors say Budwah wore unauthorized medals and accepted VIP invitations to rock concerts, major-league baseball games, banquets and other events meant to fete wounded warriors.

He faked post-traumatic stress disorder in hopes of leaving service early and was sent to the National Naval Medical Centerin Bethesda, where he bluffed his way into 33 events from late July through November 2008, according to charges obtained by The Associated Press through an appeal of its Freedom of Information Act request.

Bethesda hospital spokesman Chris Walz said the staff tries to involve as many patients as possible in such activities, which range from free NFL tickets to speaking engagements like Budwah's at Camp West Mar.

The charges include making false official statements, malingering, misconduct and larceny. Budwah faces up to 31 1/2 years in prison and a dishonorable discharge if convicted on all eight counts at a trial set for Oct. 20. at Quantico.

Budwah, who declined to enter a plea at his Aug. 5 arraignment, denied wrongdoing in a brief telephone interview in April. "The allegation is not even true," he said, declining to comment further.

Defense attorney Marine Capt. Kelly Repair and prosecutor Marine Capt. Thomas Liu also have declined to comment.

Recent prosecutions of active-duty service members include Dontae L. Tazewell, a Navy hospital corpsman sentenced in January 2008 in Norfolk, Va., to two years in prison for wearing an unearned Purple Heart and other decorations. Tazewell falsely claimed he had rescued six Marines and recovered the bodies of four others in Iraq.

Prosecutors portrayed him as a failing sailor so desperate to remain in service that he fabricated the story.

Navy corpsman Robert White, got 45 days in the brig after pleading guilty in December at Great Lakes Naval Station, Ill., to wearing a Purple Heart he bought. A former girlfriend testified White obtained the medal after he was shunned by his peers for assaulting her, the Navy Times reported.

People fabricate military injuries for many reasons, including laziness, greed, sympathy and psychosis, said Loren Pankratz of Oregon Health & Science University, who wrote about PTSD impostors in his book, "Patients Who Deceive."

"A more common theme would be somebody who would represent sort of the antihero — the guy who's given his all and yet been abused and misunderstood," Pankratz said.

Burkett said others are simply con men.

Walter E. Boomer, who served as assistant commandant of the Marine Corps from 1992 to 1994, vaguely remembers meeting Budwah in November when they were guests at a Grand National Waterfowl Association benefit on Maryland's Eastern Shore. They shot at ducks, drank and dined with other VIPs and shotgun manufacturing executives.

"I accepted his story at face value," Boomer said. "Nothing that I recall would have set off alarm bells."

Budwah again managed his way to the center of attention at a September 2008 boxing event in Glen Burnie, Md. Organizer Scott Wagner said the highlight of the night was when he brought Budwah and dozens of other military hospital patients into the ring for a standing ovation.

"Were they injured or not? I don't know and I really don't care. If half of them were injured, I still feel good about it," he said.

A year after Budwah's speech to the youngsters at the American Legion camp, Spencer Shoemaker sat stunned in the family's kitchen as he read the charges against his Marine idol for the first time.

Shoemaker, then 10, was so impressed he had his picture taken with Budwah and kept a treasured newspaper clipping about the visit. He said Budwah's talk made him want to join the Marines.

"Well, it's better that I know," the boy said after a long silence. "It did tear me down, but I'll still join the Marines."

His father Michael, a construction worker, seethed at the news about Budwah.

"He scammed America," Shoemaker said. "He scammed a kid."



Anwari Doel Arnowo
a_arnowo@yahoo.com
Indonesia

Sunday, September 20, 2009


Yang masuk melalui email pada tanggal 20/09/09. patut direnungkan. Siapakah Tuhan, mengapa kita tidak mampu melihatnya?? Mengapa Tuhan tidak pernah menampakkan wujudnya, sehingga manusia bisa melihatnya denga mata?? Karena kita harus melihatnya dengan mata hati, dengan akal, dengan daya pikir dan dengan kelembutan hati?? Begitukah??

Anwari Doel Arnowo 21/09/09


The New Reality

by Owen Waters

Did you ever stare at the night sky and wonder how many stars

there are out there?

Thanks to astronomy today, we have a good estimate of the

number of stars in the entire universe. At the last count,

there are more than seventy thousand, million, million,

million stars.

How do we, as human beings, wrap our minds around the enormity

of that? How do we even attempt to envision something that

large?

The universe measures more than fifteen billion light-years

across, which means that it would take a particle of light

fifteen billion years to travel that distance. Or would it?

At the subatomic or quantum level of reality, light doesn't

travel like you'd think it does. Light only appears when

someone is there to look at it. The rest of the time it is

nowhere to be seen. Light actually exists outside of space

and outside of time. That means that space and time are

perspectives seen by the observer, but not by the light

particle. Light particles routinely dodge around the

space-time constraints under which we assume that they exist.

Inner consciousness is the new frontier of discovery today.

Inner consciousness is not something small which is crammed

inside the human brain. It is bigger than the universe,

because it contains all of Creation. Outer space is merely a

projection of consciousness. Inner space is the consciousness

doing the projecting. That's why light particles appear to

have traveled fifteen billion light-years across the universe

in order to reach us as observers. Because we interpret them

that way in our consciousness. We construct reality according

to those perceptions.

The Shift occurring in consciousness today includes a shift to

the perspective that all life is a construct of consciousness.

The fabric of the universe, the primal Field, was created by

consciousness and is held in existence by consciousness. The

entire universe is the consciousness of the Creator.

Because space is a perspective of consciousness, it is not

really "out there," it actually exists within you. You have

one view of that field of consciousness from a viewpoint that

is unique to your personality. That view comes complete with

an apparent location in space and an apparent location in

time.

We are approaching a global paradigm shift where the world

realizes that everything is made up of consciousness.

Consciousness creates energy, it creates matter, and it

creates the perspectives of space and time.

Spiritual philosophies already see the universe as the

consciousness of the Creator. When science takes its next step

and sees the consciousness that underlies all phenomena, then

we will once again have a common link between science and

spirituality.

Wednesday, September 16, 2009

Anwari Doel Arnowo menyanyikan Too Young
diiringi guitarist andal Widjanarko

Harian Kompas tanggal 16/09/09, kolom OPINI
berjudul:

"Klaim" Budaya Itu, Sekali Lagi

Oleh Radhar Panca Dahana

Supaya tidak terjebak dalam siklus kata-kata yang tidak produktif, kasus ”klaim tari pendet oleh Malaysia” ada baiknya mengklarifikasi satu hal: klaim yang diributkan itu sebenarnya tidak ada.

Promo wisata Malaysia yang dibuat Discovery Channel tidak menyebutkan ikon-ikon budaya Indonesia yang ditampilkan sebagai milik, karya cipta, atau hak budaya mereka. Hal itu hanya dilakukan untuk kepentingan komersial/bisnis.

Untuk soal seperti ini, sebenarnya terlampau kerap kita menjumpai kasus serupa, tanpa kita keberatan. Promo wisata Singapura, misalnya, tak terhitung frekuensinya menggunakan gambar/video karya budaya Indonesia, termasuk wayang dan tari pendet. Tak ada keributan. Sebagaimana kita tahu, dalam propaganda politiknya, Nelson Mandela hadir di media massa global mengenakan batik. Atau museum di Paris dan Barcelona mempromosikan gamelan sebagai ikon utamanya.

Dalam sebuah pergaulan budaya, sejak ribuan tahun, soal jiplak-menjiplak adalah hal lumrah, bahkan menjadi kewajaran kebudayaan. India tidak pernah marah saat orang Jawa menyatakan Mahabarata atau Ramayana adalah ekspresi kultural, bahkan sumber identitas.

Rabindranath Tagore, pada awal abad ini, setelah berkeliling Jawa, menegaskan kepada sejawatnya, Sanusi Pane cs, tentang sasus ada ”India kecil” di kawasan tenggara. ”Dusta. Itu bukan India,” tegasnya, ”itu Jawa, yang bahkan India sendiri tidak mampu membuatnya.”

Begitupun China tidak marah dengan banyak ekspresi budaya Indonesia yang diambil darinya, mulai sisingaan di Subang, beduk, baju koko, hingga—menurut Remy Silado—nada musik slendro. Apakah keroncong membangkitkan amarah orang Portugis? Bagaimana dengan musik gambus, marawis, sastra Bali, seni Betawi, hingga gaya harajuku anak muda masa kini?

Kekuatan unik kita

Pada persoalan penciptaan, sebuah karya budaya, seperti seni, dalam waktu dan ruang tertentu akan bergeser—bahkan secara yuridis—menjadi milik atau wilayah publik. Perluasan ruang dan waktu itulah yang membentuk magnitude dari sebuah karya, yang nilai dan penghargaannya melampaui jumlah tiket, piala, atau sekadar besaran royalti.

Terlebih bila karya itu dire-kreasi pihak lain—yang mungkin asing—untuk kemudian menjadi medium aktualisasi diri, bahkan hingga tingkat identifikasi diri. Sebenarnya dengan itu sebuah karya telah mencapai kulminasi pencapaian kreatifnya.

Maka sebenarnya amat mengagumkan, bahkan membanggakan, bila sebuah karya, katakanlah Für Elise-nya Beethoven, menjadi romansa yang dinyanyikan setiap pencinta di dunia, atau menjadi lagu penanda truk sampah di Taiwan dan Iran, jadi kode penjual gas di Turki dan Brasil.

Kita pun tahu bagaimana lagu-lagu Beatles pernah menjadi ”lagu kebangsaan” generasi bunga akhir 1960-an. Begitupun blues, jazz, rap, atau reggae, yang dimiliki secara subyektif oleh musikus seantero jagat, tanpa membuat masyarakat Harlem, Mississippi, atau Jamaika geram. Karena begitulah cara masyarakat dunia merawat karya-karya terbaiknya di bidang kebudayaan. Begitulah kita bangga pada batik, wayang, atau Borobudur menjadi warisan dunia, menjadi milik dunia, dimanfaatkan dan dipelihara masyarakat dunia.

Dengan alasan ringkas itu, jelaslah bagi kita, jika masalah ”klaim” dilanjutkan, bukan saja akan memukul balik diri sendiri, tetapi juga membuat kita rudin secara kultural. Begitu banyak produk kebudayaan kita dapat dirujuk asal-usul asingnya.

Apa yang mungkin menarik dan ”unik” dari hubungan interkultural yang intensif dan masif di kepulauan ini adalah kemampuan masyarakatnya mengolah, menghibridasi semua khazanah simbolik yang datang dari luar, dalam satu larutan atau produk dengan dengan karakter budaya yang baru. Sebuah kemampuan—juga kekuatan—yang ditemukan di Bali, Sunda, Jawa, Minang, Bugis, Betawi, Banjar, dan Betawi.

Masalah timbul saat untuk kekuatan dan kemampuan ini justru pemerintah minim, bahkan hampir absen, peran dan perhatiannya sehingga bukan saja proses dan kerja kebudayaan mengalami disorientasi secara kolektif, pemerintah pun mengalami krisis karena kehilangan otoritasnya dalam kerja dan proses itu. Krisis ini pula yang akhirnya menjawab pertanyaan kita belakangan ini: mengapa sebagian masyarakat mudah marah untuk masalah yang lumrah?

Kekecewaan publik

Dalam pertemuannya dengan pimpinan MPR, anggota Mufakat Budaya seperti musikus dan aktor senior, Yockie Suryoprayogo dan Sys Ns, mengisahkan, bagaimana dunia musik dan film Indonesia dapat berkembang hingga hari ini semata karena perjuangan keras pelaku kreatifnya. Bila tidak minim, negara nyaris absen. Sebuah keadaan juga dirasakan pekerja sastra, tari, seni rupa, teater, dan lainnya.

Tali-menali dengan persoalan lain di bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya, kenyataan itu menciptakan kekecewaan publik yang dalam bobot tertentu menghancurkan wibawa kebudayaan pemerintah. Kekecewaan itu seperti mendapat justifikasi saat masyarakat melihat kenyataan bagaimana kini pemerintahan mudah dipengaruhi atau dibawa arus besar politik dan ekonomi global. Tanpa resistensi atau semacam tawaran alternatif.

Malaysia pun hadir sebagai penyebab saat dalam upayanya mencapai kedigdayaan politis—sebagaimana kesejahteraan ekonomis yang diraihnya—negeri itu mencoba menggoyahkan otoritas politik Indonesia yang begitu dominan di ASEAN. Berawal dari ”kemenangan besar” merebut Sipadan dan Ligitan, Malaysia mengusik wibawa politik Indonesia bukan cuma di soal kesenian, tetapi juga di Ambalat, di masalah perbatasan, pencurian kayu dan ikan, TKW, hingga simbol-simbol sakral dunia politik, seperti lagu kebangsaan.

Hasilnya? Pemerintah Indonesia seperti kehilangan akal, rapuh dan lapuk harga dirinya. Jalur-jalur diplomatik, militer, atau intelijen seperti mati-angin dalam mengatasinya. Saat media mengangkatnya ke permukaan, kekecewaan itu mengeras menjadi kemarahan publik. Hiruk-pikuk ”klaim” menjadi refleksi kemarahan. Dan Malaysia hanyalah pispot kekecewaan publik yang sebenarnya mengarah secara internal ke pemerintahan sendiri yang terdegradasi wibawanya.

Seyogianya ini menjadi semacam pembelajaran, bangsa dan negara ternyata tidak cukup dan tidak akan selesai hanya pada parsial politis, ekonomis, atau teknologis saja. Kebudayaan terbukti menjadi fundamen yang meneguhkan semua sukses itu. Tanpanya, semua sukses itu akan mengapung, menjadi artifisial, bahkan ilusif di banyak bagian. Apa lantaran itu sebuah bangsa kemudian harus terus tinggal dalam imaji kita saja?

Pemerintah yang berbudaya harus menjawabnya.

Radhar Panca Dahana Sastrawan

Anwari Doel Arnowo

Sedikit tambahan untuk tulisan

oleh Radhar Panca Dahana,

Satu pihak yang biasanya sunyi senyap tetapi justru

dialah sipembuat ingar bingar, sering tidak mengakui,

itu adalah pembawa berita dari media cetak maupun

media elektronik serta televisi.

Kalau dulu orang bilang no news is good news, maka

bagi media no news is no good. Tidak perduli berita

apapun juga akan dimuat. Tidak ada berita maka membuat-

buat agar ada berita, pancing sana pancing sini, sehingga

timbul keributan yang tidak perlu. Keributan meng-

akibatkan kerugian-kerugian materi, kegelisahan, rasa

permusuhan dan apapun orang media itu tidak perduli.

Demi keterbukaan, demi prinsip journalisme, demi meng-

alirnya informasi, jenis apapun, kalau salah kan bisa

dibantah dengan hak jawab. Target berita berarti target

pendapatan uang atau bentuk imbalan lain. Apakah tidak

ada redaktur? Dan apakah tidak ada yang namanya

penyaringan berita?? Saya tidak bisa menjawabnya, tetapi

produk yang bertebaran di media cetak sungguh memprihatinkan.

Saya harap terutama media cetak dan berta televisi mau

memperhatikan, bahwa di dalam masyarakat ada yang bisa

ampuh untuk dipakai dalam bekerja di mana saja:

Kebijaksanaan. Bijaklah dalam menilai berita itu pantas

tayang atau tidak pantas tayang. Alihkanlah berita politik

yang akan menjadi tontonan sandiwara, bisa melihat akan

tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Juga masa konflik agama.

Kalau kedua hal ini disisihkan sebisanya, maka akan banyak

sekali berita yang bisa digali di bidang upaya menunjukkan

informasi peluang bekerja bagi para penganggur. Cara-cara

mencari pekerjaan dan menciptakan kerja bagi diri sendiri.

Sibukkanlah para pembaca untuk meresapi informasi berita

yang akan bisa bekerja dan menghidupi diri sendiri. Itu semua

bisa dikerjakan oleh media cetak maupun elektronik. Kalau

ada peluang bekerja mencari nafkah yang sesuai, maka bukan

aneh kalau justru para pelaku mediapun akan pindah haluan

dan mengganti pekerjaannya dengan peluang kerja yang lebih

menjanjikan seperti itu.

Kadang-kadang menimbulkan pertanyaan besar di dalam pikiran,

apakah orang-orang pelaku media ini sedang panik, karena

internet maju pesat? Bahwa adanya internet, kebutuhan orang

terhadap media cetak akan menurun?? Saya pikir itu semua tidak

akan terjadi. Semua upaya untuk hidup manusia, sarananya akan

tetap ada. Itu dapat diamati sepanjang masa sejak dahulu kala.

Ingat, Internet pun pernah dituduh akan menyebabkan pengangguran.

Tetapi itu kan tidak pernah terjadi? Internet malah menciptakan

efisiensi, keteraturan dan kerapian, itu semua tergantung kepada

manusia penggunanya.

Hilangkanlah berita sampah, yang menyebabkan penonton, hanya

terpaku melihat berita-berita dan publikasi-publikasi orang-orang

politik, berakting dan berakrobat, yang nilainya belum pernah

menaikkan kesejahteraan masyarakat.

Berita soal Malaysia, karena dikelola dengan intelektualisme yang

berkelas rendah, menyebabkan kerancuan dan kepiluan banyak pihak.

Perbaikilah keadaan dengan penanmu yang tajam itu.

Anwari Doel Arnowo - 16 September 2009

2009/9/16

Ini tambahan sampeyan bagus, aku usul dikirim ke media cetak harian2

untuk mengisi rubrik Opini mereka. Sebelum mereka makin kebablasan

menjadikan makin ingar bingar suasananya dan masyarakat yang makin

kebingungan kehilangan arah dan pegangan dalam berpikir dan bersikap.

Sementara pimpinan dan petinggi kita nggak memberikan sikap yang

madani

Tuesday, September 08, 2009




Siapkah anda? Are you ready?

Anwari Doel Arnowo

Thursday, September 22, 2007

Are you ready? Itu biasa diucapkan oleh seorang performer. Seorang pembawa acara konser musik rock, sering sekali menggunakan kata-kata ini. Demikian seorang pimpinan sebuah band musik atau seorang penyanyi terkenal. Biasa, selanjutnya akan menyusul tepukan tangan dan jingkrak-jingkrak atau goyang-goyang badan diikuti oleh para hadirin.

Yang saya ingin gunakan saat ini adalah kata-kata yang sama tetapi untuk keperluan lain.

Saya ingin menggugah para pembaca karena mungkin pembaca sedang terlena. Terlena karena kesibukan sendiri, karena memang mungkin tidak merasa perlu untuk memulai dan memikirkannya.

Are you ready – apakah anda sudah siap??

Siap apa?

Apakah anda siap menerima bahwa anda akan merasa, tiba-tiba menjadi tidak lebih pintar kalau dibandingkan dengan tingkat pintar dan tingkat pandai anak-anak, bahkan dengan anak-anak anda sendiri sekalipun?

Apa pula ini?

Begini, Bung!

Hari ini saya terperangah, merasakan dalam hati saya, bahwa saya ini adalah seorang manusia yang lebih pintar dan lebih pandai dari kakek saya sendiri. Benarkah begitu? Beliau, Kakek Arnowo meninggal dunia pada usia muda pada tahun 1922, pada waktu mencapai usia 43 tahun. Waktu itu ayah saya, Doel Arnowo, masih berusia 18 tahun. Ibunya ayah, meninggal pada usia sekitar 94 tahun dan ayah saya sendiri meninggal pada tahun 1985, mencapai usia 80 tahun.

Saya mengatakan bahwa saya lebih pintar dan lebih pandai, semata-mata hanya karena saya tidak hidup dalam waktu yang bersamaan dengan kakek saya itu.

Tahun ini tahun 2007 adalah 84 tahun setelah kakek saya meninggalkan dunia ini. Jadi yang saya sebut kelebihan kepintaran dan kelebihan kepandaian adalah kelebihan ilmu pengetahuan yang beda waktunya saja berbeda delapan dekade lebih empat tahun. Lagi pula pada waktu kakek saya tiada, saya kan terlahir baru enam belas tahun kemudian.

Kembali ke: Are you ready? Sudah ready kah saya, sudah siapkah saya untuk menerima pada saat ini atau beberapa tahun lagi, bahwa saya bisa saja tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh anak-anak saya, bahkan cucu-cucu saya??

Kalau benar terjadi seperti itu apakah sikap bijaksana yang harus saya ambil, bagaimana menyikapi kejadian seperti ni? Saya bisa saja bertanya, dan mendapat jawaban yang membuat saya masih tidak dapat mengerti. Tak memahami. Apa saya harus tidak peduli? Tak ambil hati dan melupakan saja?? Ah memang banyak pilihan, akan tetapi yang manakah sebaiknya diambil sehingga tetap dapat akrab dengan anak-anak dan cucu-cucu?? Tetap dapat disebut sebagai orang tua yang baik dan bijaksana? Untuk mengerti maka harus belajar, sedang mungkin saja otak saya, kurang sanggup secara cekatan mengikuti apa yang dibicarakan.

Orang tua dan orang yang dapat disebut sebagai senior, condong untuk dapat mempunyai mindset dan prinsip yang tetap dan kokoh. Condong juga untuk berkeras kepala bahwa yang diketahuinya dan yang dipahaminya adalah yang paling benar dan tidak dapat berubah dengan cara apapun.

Saya maupun anda mestinya bisa menyetujui bahwa hal seperti inilah yang menyebabkan adanya generation gap, sebuah kerenggangan atau pembatasan antara dua generasi. Saya ingin menunjuk conto-conto seperti dibawah ini.

Bagi saya, yang amat mengesankan dalam hidup saya adalah momentum-mometum dan proses-proses ketika terjadinya serta berlangsungnya kemerdekaan negara kita dan amat kentara sekali ditengarai dengan adanya pengoemoeman mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Kemudian perang menghadapi agresi belanda antara tahun 1945 sampai dengan 1949. Setelah penyerahan Kedaulatan oleh belanda pada tanggal 27 Desember 1949, saya mengingat, bahwa itu adalah momentum yang maha penting, tidak boleh sekali-sekali dilupakan selama seumur hidup saya.

Tetapi apa lacur?

Hal yang amat penting seperti itu oleh anak sayapun saat ini sudah seperti sesuatu hal yang tidak pernah terjadi, hal yang tidak pernah ada. Apa lagi bagi cucu-cucu saya!! Tidak ada seorangpun yang tahu. Kalaupun saya beritahu, maka paling tinggi, dia akan mengangguk-anggukkan kepala dan akan mengiyakan apapun kata saya, kira-kira dengan mindset yang berbunyi: Whatever you say, Grandpa - atau Iya Deh, Kek!

Jangan-jangan bisa saja kata-katanya: reseh amat sih!

Salah seorang anak saya waktu belajar di Sekolah Menengah Pertama, mengatakan dengan tergesa-gesa sesampainya di rumah: “Kakek ku itu seorang Pahlawan, ya Bu?”

“Mengapa kamu bertanya seperti itu?” tanya istri saya.

“Waktu pelajaran Sejarah di kelas tadi, guruku mengatakan bahwa nama kakek itu disebut sebagai salah satu pahlawan” Kali ini saya merasa bahwa salah satu sebab adanya generation gap itu adalah saya juga, karena tidak sempat menceritakan kepada anak saya mengenai kakeknya dan dia mengetahuinya dari orang lain. Masih beruntung dia dengar yang benar dan dari salah seorang gurunya pula.

Kalau saja si anak mendengar yang berlawanan dengan yang diajarkan oleh bapaknya, maka akan memerlukan waktu bagi si anak untuk menyesuaikan diri dalam menyikapi perbedaan pendapat antara pendapat orang tuanya dengan pendapat orang lain tadi.

Untuk yang seperti ini patutlah kita bersiap diri lagi dengan menjawab pertanyaan: Are you ready?

Yang saya sitir tadi adalah dalam lingkungan keluarga sendiri. Bagaimana dengan saudara atau famili diluar keluarga sendiri?

Bagaimana dalam masalah yang menyangkut kehidupan sehari-harinya, dalam menanggapi masalah kenegaraan dan pemerintahan serta politik? Juga ideologi dan agama?

Saya merasakan bahwa hal-hal seperti disebutkan itu telah tidak sama dengan keadaan pada waktu lima puluh tahun yang lalu. Tahukah anda pada saat ini ada dan bahkan banyak “anak bau kencur” yang telah berani berkata kepada kita antara lain bahwa “Agama Islam itu ada lebih dari 60 aliran dan yang terbaik hanyalah ada satu. Kalau datang ke (menyebut suatu tempat) nanti akan bisa melihat bahwa sekarang sedang diusahakan, agar semua pihak dapat masuk kedalam satu aliran yang benar itu tadi.” Itu kan kata dia, diusahakan untuk diseragamkan? Apakah selama ini ada yang berhasil menyeragamkan sesuatu? Sejak jaman sebelum adanya agama di dunia ini, belum pernah ada yang berhasil menyeragamkan sesuatu di seluruh dunia. Jangankan di seluruh dunia, didalam lingkungan sendiri saja tidak ada satupun yang berhasil. Kita akan terkagum-kagum terhadap keberagaman manusia dalam pola pikir, dalam pola tindakan dalam menjalani kehidupan masing-masing.

“Anak bau kencur” tadi umurnya masih kurang dari separuh umur kita. Dia entah sadar atau tidak, telah “mengajak” seorang senior, seorang yang umurnya sudah lebih dari dua kali umurnya sendiri, untuk mengikuti aliran yang amat dipercayanya dan dianutnya.

Kami, maafkan saya, telah makan asam garam dunia ini di‘ajar’i oleh seorang yang bau kencur? Ah, mungkin saja sikap kita waktu itu, adalah seperti sikap cucu saya sendiri kalau saja, misalnya saya beri cerita mengenai penyerahan kedaulatan oleh belanda kepada Republik Indonesia Serikat.

Mengangguk-angguk dan mengiyakan dan biarpun tidak dikatakan secara verbal dengan jelas serta lantang, di dalam hatinya mungkin sekali mengatakan: “whatever you say-atau- IYA DEH!!” Cepat ya dunia terbalik atau berbalik? Sebagai basa basi saya dengar istri saya menyahut: ”Waduh, enam puluh? Banyak benar, ya? Saya harap saja apapun yang terjadi, kita ini semua masih bisa bersatu dan tidak menjadi lawan satu sama lain!” Mendengar jawaban seperti itu si pemuda itu terdiam dan kehabisan kata-kata. Yang jelas dia ini kelihatannya tidak mempunyai “ilmu menjual” sehingga tidak mampu lagi melanjutkan pembicaraan karena tidak siap dengan bahan “promosi”. Sinyalemen akan terjadi permusuhan memang amat tepat sekali, mengingat militansi pendapat yang dianutnya adalah demikian kakunya sehingga rela untuk meneteskan darah bahkan mengorbankan nyawa untuk melindungi dan membela pendiriannya.

Perubahan besar telah saya rasakan sejak lama, ketika melihat penderitaan batin Bung Karno dan juga ayah saya yang memang satu aliran, terhadap pengorbanan rakyat untuk kepentingan beberapa orang pejabat saja. Mereka adalah conto terdekat pada diri saya untuk mengamati situasi. Sejak saat saya menyadari gambaran kekecewaan mereka, saya sudah menyimpulkan dengan samar dan keyakinan yang belum bulat, bahwa saya tidak ingin untuk mengalami kekecewaan seperti yang mereka alami itu. Saya akan membuat diri saya mencari jalan terbaik bagi diri saya agar dapat menghindarkan diri dari derita yang dialami kedua beliau itu. Saya akan membuat ukuran dengan cara saya untuk diri saya, agar bisa menghimpun kesiapan bagi diri saya menghadapi segala hal yang bisa membuat kecewa.

Menhindari kekecewaan hati sendiri. Sekarang ini saya sudah mulai bisa membuat batasan-batasan bahwa saya harus bisa merelakan sesuatu yang telah menjadi idaman saya sejak lama.

Akan tetapi dalam proses mencapainya kalau memang itu bukan kelas saya, bukan rejeki saya atau memang tidak memungkinkan bagi diri saya untuk mencapainya, maka saya akan menyurutkan langkah.

Surut langkah saya ini, bukan berarti saya ini menyerah kalah. Tetapi mencari jalan lainnya yang lebih kecil risikonya dan lebih mudah proses pencapaiannya, tanpa merugikan pihak manapun.

Pepatah lama mengatakan: Ada banyak jalan ke Roma!

Sebuah ungkapan yang pernah saya punyai stickerya, berbunyi: I do not want to be a millionair, but I want to live like one – Saya tidak ingin menjadi jutawan, akan tetapi saya memang ingin hidup seperti seorang jutawan. Itu pernah saya rasakan ketika saya bekerja di sebuah perusahaan, dimana saya bisa melakukan perjalanan ke-negeri-negeri lain dengan menggunakan First Class Trips akan tetapi saya bukan millionair. Naik pesawat kelas satu dan tinggal di Hotel kamar suite serta makan di tempat-tempat yang memang patut menyandang julukan cuisine. Sempat naik pesawat Concorde juga. Semua itu dibayar oleh perusahaan dan saya tidak melakukan pelanggaran apapun dalam menikmati fasilitas yang disediakan secara sah, oleh karena memang begitu peraturannya.

Kalau saya ngotot menjadi millionair terlebih dahulu pasti saya akan terlibat perolehan uang yang dapat diberi kategori kurang bersih. Bukan semua orang bisa mencapai kedudukan sebagai seorang millionair dalam Dollar Amerika Serikat. Millionair Rupiah di Indonesia banyak sekali, mungkin barang siapa pun yang memiliki sebuah koelkast maka dia sudah berhak disebut sebagai millionair Rupiah.

Dengan mengambil sikap zona aman seperti itulah saya telah selamat dari godaan syaiton. Zona aman adalah zona yang dapat kita ciptakan sendiri. Tanpa memikirkan zona aman seperti ini maka hidup kita mungkin akan terengah-engah dan tidak terkendali dengan mantap.

Untuk dapatnya kita bisa disebut dengan ready yang sesungguhnya, itu adalah sebuah on going process – sebuah proses sambung-menyambung tanpa putus. Berhasil satu kali bukan menjamin berhasil selanjutnya. Pencapaian-pencapaiannya haruslah dilakukan pada setiap waktu pada waktu dirasakan diperlukan.

Kalau anda dikalahkan oleh cucu sendiri biasanya itu dalam ilmu pengetahuan, tetapi seorang senior biasanya juga mempunyai senjata pamungkas dalam menandingi mereka yang masih muda-muda: kebijakan.

Hal-hal yang bijak yang dipunyai seorang yang sudah senior biasanya belum banyak dimiliki oleh mereka yang masih belia. Itulah perlunya agar dilakukan penggalian dan digunakan, dengan aplikasi yang benar.

Jangalah membuat hal-hal bijak yang telah dimiliki oleh seorang senior, membiarkan menjadi muspro, membiarkan tidak terpakai atau mubazir.

Yang sebenarnya sudah ada didalam diri para senior hanya saja tidak digali secara tajam dan kurang pengamatan sehingga lepas dari ketepat-gunaan.

Anwari Doel Arnowo

Toronto, Saturday, September 22, 2007 - 2:48:00 AM

---ooo000ooo---



Ditulis karena amat prihatin dengan sedang berlangsungnya kecerobohan pemerintahan mengenai keuangan, yang telah dilakukan dari ke waktu, diulang-ulang meskipun sudah disadari bahwa itu koruptif dan penuh blunder.

Anwari Doel Arnowo – 8 September, 2009

Seimbang

Sebenarnya sudah menjadi pengetauan masyarakat umum di Indonesia bahwa setiap Kepala Pemerrintahan, baik itu Perdana Menteri, Presiden atau siapapun yang telah ikut berkuasa dalam bidang keuangan, telah banyak melakukan kesalahan dengan membuat status keuangan Negara menjadi TIDAK nyaman dirasakan oleh seluruh penduduk Indonesia. Apa yang telah dibuat mereka adalah membuat Anggaran Belanja yang sering tidak realistis, sehingga dalam membuat keseimbangan penikmatan kueh ekonomi di negara ini, tidak dan malah belum pernah dialami oleh seluruh penduduk secara adil dan merata. Apa yang dilakukan mereka yang mewakili pemerintahan adalah membuat diri mereka nyaman menjalankan tugasnya, dengan pembiayaan yang cukup serta serta sering kali berlebihan. Dari mana sumber biaya yang diharapkan untuk maksud seperti itu? Tentunya terutama sekali dari pajak, bea dan cukai. Itupun kalau dijalankan dengan sungguh hati maka tentu akan mencukupi kesimbangan kebutuhan finansial di dalam mengelola manajemen pemerintahan Republik ini. Pada sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya pernah menanyakan dan mendapat jawaban bahwa NPWP hanya dimiliki oleh orang Indonesia yang jumlahnya hanya sekitar kurang dari sepuluh persen dari Wajib Pajak yang semestinya dan sepantasnya. Entah mengapa Penduduk Kawasan Pondok Indah yang elite itu hanya amat sedikit yang memiliki NPWP, kalau tidak salah ingat kurang dari dua puluh persen. Janganlah kita terges-gesa menyalahkan para WP, karena kalau memang fungsi kontrolnya kurang mangkus maka itu adalah sepadan dengan hasil yang dicapai. No gain no pain, kurang upaya, maka kurang pula hasilnya.

Sudah pernah saya ungkapkan, bahwa seorang Notaris telah pernah menyuruh pegawainya membayar pajak jual beli proprti. Hal ini terjadi segera setelah Sakta Jual Beli ditandatangai pada sekitar sepuluh pagi. Petugas ini ternyata kembali ke kantor Notaris pada sebelum pukul 12:00 tengah hari, mengatakan bahwa waktu loket penerimaan pembayaran telah usai sebelum tengah hari. Loket telah ditutup. Pembayaran hanya bisa dilakukan pada keesokan harinya. Saya ingat benar hari itu bukan hari Jumat atau hari Sabtu!

Saya kira saya dan anda para WP yang membayar pajak, tentu akan sepakat bahwa Loket pembayaran, harus bisa beroperasi selama mungkin. Sepanjang hari selama manusia belum tidur. Bahkan saya bisa berpikir untuk membukanya selama 24 jam terus menerus. Kalau ada Restaurant cepat saji Mac Donalds bisa buka 24 jam, maka Kantor pajak juga harus bisa. Membayar petugas loket Kantor Pajak, itu biayanya tidak besar. Bukankah korupsi yang terjadi di situ telah pernah amat luar biasa besarnya??? Kalau diadakan pemungutan suara masalah ini saya pikir para pembayar pajak akan menyetujui pikiran seperti ini. Bukankah dalam hal ini, tidak ada perbedanya antara Kantor Pajak dan Restaurant Mac Donalds, karena mempunyai pandangan yang sama? Uang masuk – cash in?? Usaha macam apapun yang penting adalah cash in!! Mau jual soto atau plastik atau jengkol sekalipun, yang penting adalah uang masuk. Barangnya bagus, gerai jualnya bagus, para petugasnya cantik serta jelita dan kebersihan tempat berjualannya prima, itu semua hanya kosmetik. Tetap saja yang penting adalah uang masuk. Yang lainnya menjadi nomor dua atau selanjutnya dan berikutnya.

Mengapa pemerintah perlu sekali diingatkan bahwa pemasukan uang yang mendasar seperti ini amat menjamin kelancaran birokrasi, bureaucrazy? Gaji guru di tempat terpencil atau bahkan di Jakarta kan tidak boleh terlambat?? Guru adalah ujung tombak bagi masa depan bangsa.

Ada demonstarsi para guru di Papua yang menuntut pembayaran hak mereka hanya sekitar Dua Ratusan Ribu Rupiah sebulan, telah tidak bisa dicairkan selama setahun lebih, apa yang begini pantas bagi Negara Republik kita yang umurnya sudah 64 tahun??

Sudah juga saya ungkapkan ingatan saya telah pernah membaca sebuat surat pembaca di harian Kompas sekitar dua puluh tahun yang lalu, ditulis oleh seorang pegawai Kantor Pajak, yang menuliskan angka 700 triliun Rupiah sebagai angka perkiraan yang telah dibuat oleh para rekannya sesama pegawai kantor Pajak sebagai bentuk tindak pidana koruptip?? Bukankah yang seperti ini telah ikut menghambat keterlambatan gaji pegawai negeri, yang telah menjadi alasan klasik tidak bisa terselenggaranya manajemen pemerintahan yang sehat dan mangkus?

Maka dalam kampanye Presiden yang berikutnya saya minta agar setiap calon Presiden berjanji untuk melunasi pinjaman, apapun juga, selama masa pemerintahannya tepat sebelum berakhir. Jangan meninggalkan utang uang atau apapun yang akan menjadi beban para Presiden berikutnya. Kalau tidak sanggup maka membuat utang harus DILARANG sama sekali. Kalau tidak sanggup maka dia harus dinyatakan tidak layak menjadi Presiden. Sungguh menyedihkan mendengar Forum Soegeng Sarjadi, yang menampilkan Fuad Bawazir dan para hadirin yang lain, yang mengatakan bahwa Bank Century itu kalau ditutup maka kerugian yang akan timbul hanya sekitar enam ratus miliar saja, akan tetapi pada beberapa hari yang lalu, terungkap pemerintah mengucurkan dana penyelamatan sebesar enam koma tujuh triliun Rupiah. Menteri keuangan dan dpr bertentangan dan berbeda pandangan secara jelas, dua-duanya merasa amat benar, Menteri keuangan pada hari ini menyatakan di media bahwa dia bersedia diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Bagi saya, perdebatan apapun yang terjadi, tidak ada bedanya sama sekali, Yang jelas RAKYAT lah yang memiliki uang enam koma tujuh triliun Rupiah, menjadi penderita kerugian, meskipun dana itu disalurkan tidak dari APBN, tetapi melalui LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan).

Lihatlah KPU telah merencanakan biaya upacara pelantikan para wakil rakyat dan para pejabat publik lain di lingkuran DPR dan DPD yang anggrannya telah disiapkan sebanyak sebelas miliar Rupiah. Kutipan dari Koran Kompas Selasa 8 September 2009: BIAYA HOTEL HINGGA BATIK. Selain untuk akomodasi perjalanan anggora DPR dan DPD, anggaran Rp.11 miliar itu antara lain digunakan untuk penginapan hotel sebesar RP.2,8 miliar, pengadaan jaket, baju batik dan hem lengan untuk panitia yang berasal dari lintas instansi pemerintah sebesar Rp. 149 juta, penyediaan tas untuk 692 anggota DPR dan DPD sebesar Rp.115 juta serta pengadaan bus AC dan ambulan untuk anggota DPR dan DPD sebesar Rp.251 juta.

Di kolom-kolom yang lain di halaman yang sama Kompas halaman 4 tanggal hari ini dicantumkan: ANGGOTA TERPILIH KEMBALI MANGKIR. Isinya? Rapat Batal Karena Tidak Penuhi Kuorum. Menjelang berakhirnya masa tugasnya, banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mangkir rapat. Ironisnya, hal itu tidak saja dilakukan mereka yang gagal ddalam pemilu legislatif yang lalu, tetapi juga oleh anggota yang terpilih kembali untuk periode 2009-2014 … dst. …

Dalam berita di atas tidak lupa disinggung pernyataanPeneliti Indonesia Budget Centre (IBC), Roy Salam, mengatakan antara lain: “Pengadaan fasilitas baju itu tidak penting, terkesan terlalu mewah. Kalau anggaran pelantikan itu sampai jutaan Rupiah, bagaimanapun citra DPR pasti buruk. Saya kira anggaran KPU diketaui DPR, jadi, DPR pun jangan pura-pura buta, jangan sampai menggunakan pemilu agar ada anggaran THR untuk anggota DPR.”

Bukanlah sesuatu yang berlebihan kalau saya ingin mengutip yang amat relevan untuk bisa mengarah ke keseimbangan lingkungan hidup, keseimbangan pengelolaan keuangan negara, keseimbangan tanggung jawab, dan keseimbangan pikiran yang sehat dari para penyelenggara negara.

Kutipan it adalah kata-kata yang diucapkan seorang terkenal dalam dunia Ilmu Pengetauan: ALBERT EINSTEIN : "It is every man's obligation to put back into the world at least the equivalent of what he takes out of it." Adalah obligasi dari setiap orang untuk mengembalikan ke alam, setidak-tidaknya menyamai nilai apa yang talah diambilnya dari alam.”

Albert Einstein.(1879-1955) adalah seorang kelahiran Jerman yang kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat, yang menjelma menjadi seorang ahli fisika yang mengembangkan teori relativitas, yang menobatkannya dan menjadikannya sebagai pemenang Nobel Prize for Physics pada tahun 1921.

Anwari Doel Arnowo

8 September, 2009