Saturday, January 09, 2010

Soekarno, Bukan Pemikir Islam Biasa

Sabtu, 9 Januari 2010 19:11:54 - oleh : redaksi

Soekarno, Bukan Pemikir Islam Biasa

MARI KITA BACA DAN PAHAMI - Anwari

”Soekarno adalah bagian dari pemikir Islam tangguh yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Namun fakta ini seakan tenggelam dalam arus sejarah Indonesia yang menasbihkan Soekarno sebagai simbol dan pemikir Nasionalisme Indonesia semata.”

Soekarno, atau yang diakrabi dengan Bung Karno, adalah sosok fenomenal dalam lintasan sejarah bangsa ini. Ia tidak saja bapak Proklamator bangsa Indonesia, namun juga teknokrat, intelektual, pecinta seni, dan kader Muhammadiyah yang tangguh. Dipuji, dikagumi, dibenci, dan dihujat seakan berjalan beriringan mewarnai alur hidupnya. Publik, baik rakyat Indonesia maupun dunia internasional lebih mengenalnya sebagai tokoh penggerak Nasionalisme Indonesia dan juga sebagai penggelora gerakan anti kolonialisme - Imperialisme. Terlepas dari itu semua, Soekarno adalah bagian dari pemikir Islam tangguh yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, seperti: Moh. Natsir, HM Rasjidi, Hamka, atau Agus Salim. Pemikirannya tentang Islam yang tersebar dalam berbagai tulisan dan pidato mengajak umat muslim untuk menyongsong kebangkitan Islam dalam percaturan dunia. ''Islam adalah kemajuan” terangkum dalam buah pikirannya. Namun fakta ini seakan tenggelam dalam arus sejarah Indonesia yang menasbihkan Soekarno sebagai simbol dan pemikir Nasionalisme Indonesia semata.

Tumbuhnya seorang Muhammadiyah yang tangguh.

Lahir dari sebuah keluarga abangan—kelas menengah di Surabaya pada 6 Juni 1901, Soekarno muda sebenarnya tidak memiliki intensitas dalam bersentuhan dengan Islam. Karena selain jalur pendidikan yang ditempuhnya adalah pendidikan sekuler modern, kedua orangtuanya pun bukan termasuk dari keluarga muslim yang taat. Akan tetapi hal tersebut berubah sejak dirinya masuk pada Sekolah Tingkat Menengah HBS di Surabaya dan mondok di kediaman HOS Cokroaminoto, seorang tokoh gerakan Islam terkemuka dan pemimpin Serikat Islam (SI). Interaksi antara dirinya dengan beragam tokoh pergerakan lintas ideologi ketika itu telah membentuk dirinya sebagai seorang yang haus ilmu pengetahuan. Berbagai perdebatan ia ikuti dan semakin mendorong ketertarikannya untuk mempelajari Islam lebih mendalam. Buku The New World of Islam karya L. Stoddard telah menjadi salah satu rujukan utama dalam kajian Soekarno tentang Islam ketika itu.

Kekayaan khasanah pemikiran Islam yang berangsur tumbuh pada diri Soekarno mendorong dirinya untuk menulis artikel; ''Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme'' pada harian Suluh Indonesia Muda tahun 1926, di mana tulisan tersebut memiliki arti penting dalam perkembangan pemikiran dan ideologi di Indonesia sampai saat ini. Ketertarikannya atas konsepsi Pan-Islamisme dari Jamaludin Al-Afghani, yang mempertanyakan kolonialisme bangsa Eropa pada sejumlah negara Islam menjadi inspirasi awal untuk Soekarno dalam melihat Islam sebagai sebuah basis gerakan perlawanan sosial di Indonesia yang terjajah. Artikel tersebut bukan hanya sekedar menggambarkan adanya persamaan tujuan dari kandungan ideologi Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme untuk membebaskan rakyat dari belenggu kolonialisme, akan tetapi lebih jauh seakan menanggalkan belenggu tekstual dan menghidupkan teks dalam praksis demi mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat.

Sebagai tokoh pergerakan Nasional, Soekarno mengalami berbagai penangkapan, pemenjaraan dan pembuangan sebagai konsekuensi logis dari Pemerintah Kolonial Belanda atas segala tindakan dan aksi politiknya yang menuntut kemerdekaan atas bangsa Indonesia. Penjara Sukamiskin, Bandung, seakan menjadi saksi bisu atas lahirnya karya besar Soekarno lainnya, Indonesia Menggugat. Penangkapan oleh Belanda pada 1 Agustus 1932 atas Soekarno seakan membawa berkah terselubung bagi dirinya untuk lebih menyerap dan menyingkap berbagai pemikiran Islam dari tokoh-tokoh terkemuka, seperti: Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani sampai penganjur kebangkitan Islam seperti: Arabi Pasha, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff, dan Muhammad Ali. Dalam pembuangannya di Endeh, Flores, Soekarno mendalami pemikiran dari Maulvi Muhammad Ali (Tokoh Ahmadiyah Lagore) dan Khwaja Kamaluddin, selain juga secara aktif bertukar pikiran melalui korespondensi dengan A Hassan selaku pimpinan Persatuan Islam (Persis) di Bandung mengenai berbagai hal yang terkait dengan Islam.

Secara lugas Soekarno melakukan pembahasan atas paham Islam yang membebaskan umatnya dari belenggu tradisionalisme dalam surat-suratnya tersebut. Menggunakan analisa historis (taarikhiyyah) yang tajam, Soekarno membongkar tradisi menyimpang dari para Kiai dan Ulama, selaku pemuka agama. Ia menggambarkannya sebagai sebuah sikap ''kolot bin kolot'', mesum mbahnya mesum, ataupun lingkungan yang penuh dengan kejumudan, hadramautisme, dupa, korma, jubah, atau celak mata. Soekarno bukanlah orang yang membenci tradisi, akan tetapi ia lebih menekankan sisi rasionalitas dan progresifitas pada Islam. Sebagaimana ia menganjurkan untuk menggali ''apinya Islam'' sebagai semangat dan jiwa dari Islam yang menginginkan terwujudnya rasionalime dan kemajuan masyarakat. Sebagimana terdapat dalam nukilan pidatonya dihadapan Civitas Akademika IAIN Jakarta medio 1965 seperti dibawah ini :

''Jika kalian ingin mengerti mengapa dahulunya Islam pernah mengalami pasang naik . . . dan juga pasang surut . . . bebaskan pikiranmu dari berpikir biasa, berpikir konvensionil...kamu mahasiswa IAIN, kamu jangan mempelajari Islam dan mencoba memajukan Islam dengan apa itu jiwa pesantren . . . Bukalah! Bukalah pintu, bukalah jendela! Ya, bahkan lebih dari itu: sekali kamu keluar dari ruang pengap itu, bangkitlah, bangkitlah, naik ke langit'' (Tjilaka Negara yang tidak ber-Tuhan, Jakarta: 1965).

Khatib-khatib membuat khotbah tentang rahasia-rahasianya surga dan neraka, atau mereka mengajar kita betapa caranya mengambil wudhu atau rukun-rukun yang lain, dan itu sudahlah dianggap cukup buat mengerjakan agama. Begitu jualah keadaannya kitab-kitab agama kita. Tetapi yang demikian itu bukanlah gambar kita punya agama yang sebenarnya.

Tak berlebihan kiranya kalau kita meminjam istilah yang berkembang turun-temurun di Pesantren, bahwa Soekarno sebagai seorang yang berpijak pada 'Al-Muhaafazatu ala al-qadim al-shaalih wal-akhdzu bil jadiid al-ashlah (mempertahankan tradisi yang baik dan menggantinya dengan yang baru apabila nilai tersebut lebih baik)'. Taqlid buta tanpa bersandar pada rasionalitas terhadap sebuah tradisi dan pemikiran nampaknya sangat diharamkan oleh seorang Soekarno.

Ketertarikan dan pemikiran yang cemerlang atas Islam tidak secara serta-merta menjadikan Soekarno tertarik pada Gerakan Islam Politik. Kegandrungannya atas persatuan bangsa pada akhirnya lebih menempatkan dirinya sebagai ''Pemimpin yang berdiri di atas segala golongan, agama, dan suku'', meski pernah aktif dalam Gerakan Islam Kultural, Muhammadiyah, sejak dalam masa pembuangannya di Bengkulu pada masa Kolonial Belanda. Bahkan sampai akhir hayatnya, Soekarno memiliki kecintaan yang sangat atas Muhammadiyah, dengan keinginannya untuk menyelebungi jenazahnya saat ia meninggal dengan bendera Muhammadiyah. Sejatinya Soekarno adalah seorang Muslim yang taat dan pemikir bagi Islam serta kader Muhammadiyah yang tangguh.

Sebagai seorang politisi Soekarno juga memiliki kesalahan dan ketidak-cermatan dalam mengambil langkah ekonomi dan politik. Tapi sebagai seorang pemikir Islam tak berlebihan kiranya kalau kita menyematkan dirinya sebagai Mujaddid Abad 20.

Islam Sontoloyo

Secara harfiah, Sontoloyo bisa bermakna sebagai kekonyolan, ketidak-becusan ataupun kebodohan. ''Islam Sontoloyo'' bagi Soekarno adalah kelompok muslim yang memandekkan perkembangan pemikiran Islam melalui penafsiran tunggal untuk kepentingan diri atau kelompok semata. Melalui penjungkir-balikan hukum fikih, layaknya manusia yang bermain kucing-kucingan dengan Allah. Awalnya tulisan Soekarno ini hadir sebagai reaksi atas kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang guru agama atas muridnya, sebagaimana dikabarkan dalam harian Pemandangan tanggal 8 April 1940. Keberangan yang sudah dapat dibaca mulai sejak sub judul (Baca: Islam Soontooloojoo) ini seakan memprovokasi lebih jauh Soekarno untuk mengkritisi praktek keagamaan dan paham pemikiran yang fatalistik. Bahkan bukan hanya itu, Soekarno juga mendekonstruksi pemahaman fikih dalam masyarakat muslim ketika itu, sebagaimana berikut ini:

''...ya, kalau dipikirkan dengan dalam-dalam , maka kitab fikih-kitab fikih itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo roh dan semangat Islam. Bisakah, sebagai misal, suatu masyarakat menjadi hidup, menjadi bernyawa, menjadi levend, kalau masyarakat itu hanya dialaskan saja kepada Wetboek van Strafrecht dan Burgelijk Wetboek, kepada artikel ini dengan arikel itu? Masyarakat yang demikian itu akan segeralah menjadi masyarakat mati, masyarakat bangkai, bukan masyarakat. Sebab tandanya masyarakat ialah justru ia punya hidup, ia punya nyawa. Begitu pula, maka dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada roh, tiada nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam di alam 'Kitab fikihnya' saja, tidak terbang seperti burung Garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya Agama Yang Hidup''.

Kita hanya ngobrol tentang sembahyang dan puasa, dan kita sudah mengira bahwa kita sudah melakukan agama.

Merunut teks diatas maka kita akan secara mudah menilai bahwa Soekarno adalah seorang pembenci fikih! Seorang yang menafikan fikih dalam konteksnya dengan peradaban Islam. Karena fikih memiliki dimensi spiritual dan dimensi duniawi, pemahaman dan penerapan fikih haruslah didasarkan atas dimensi tersebut. Ini haruslah dilakukan secara proporsional sesuai dengan watak asli dari fikih itu sendiri.

Keseimbangan ini dicapai karena fikih bukanlah sebuah produk yang terlepas dari bimbingan wahyu dan juga tidak menjadi produk yang kehilangan watak elastisitasnya. Keseimbangan inilah yang menjadi titik perhatian Soekarno dalam menilai fikih. Faktor teologis dan faktor etika menjadi pertimbangan utama dan menjadi kesatuan dalam mengembangkan dan menjalankan fikih, tanpa mengesampingkan faktor perubahan dan perkembangan dari suatu masyarakat itu sendiri. Memperkuat argumentasinya tersebut Soekarno dalam artikel ”Islam Sontoloyo” mengutip Kwadja Kamaludin: ''Kita hanya ngobrol tentang sembahyang dan puasa, dan kita sudah mengira bahwa kita sudah melakukan agama. Khatib-khatib membuat khotbah tentang rahasia-rahasianya surga dan neraka, atau mereka mengajar kita betapa caranya mengambil wudhu atau rukun-rukun yang lain, dan itu sudahlah dianggap cukup buat mengerjakan agama. Begitu jualah keadaannya kitab-kitab agama kita. Tetapi yang demikian itu bukanlah gambar kita punya agama yang sebenarnya''.

Berdasarkan teks di atas kita dapat memberikan penilaian bahwa bagi Soekarno, aspek Ubudiyah yang mengatur hubungan transedental antara manusia dengan Allah sebagaimana diatur dalam fikih adalah final. Faktor teologis tentunya akan kehilangan makna akibat distorsi dalam beberapa penafsiran dari aspek yang terkait dengan faktor etika, seperti aspek Muamalah (hubungan perdata), Munakahat (pernikahan), dan Jinayah (pidana). Sebuah kritik terhadap faktor etika dalam penafsiran dan pelaksanaan fikih juga dilontarkan Soekarno melalui sebuah penggambaran atas kasus kawin kontrak: ''Dulu pernah saya melihat satu kebiasaan aneh di salah satu kota kecil di tanah Priangan. Di situ banyak sundal, banyak ''bidadari-bidadari'' itu bidadari ''Islam''. Bidadari yang tidak melanggar sesuatu syarat agama. Kalau tuan ingin melepaskan tuan punya birahi kepada salah seorang dari mereka, maka adalah seorang penghulu yang akan menikahkan tuan lebih dulu dengan dia buat satu malam. Satu malam ia tuan punya istri yang sah, satu malam tuan boleh berkumpul dengan dia zonder melanggar larangan zina. Keesokan harinya bolehlah tuan jatuhkan talak tiga kepada tuan punya kekasih itu tadi! Dia mendapat ''nafkah'' dan ''mas kawin'' dari tuan, dan mas penghulu pun mendapat persen dari tuan. Mas penghulu ini barangkali malahan berulang-ulang juga mengucapkan syukur kepada Tuhan, bahwa Tuhan telah memperkenankan dia berbuat kebajikan, yakni menghindarkan dua anak Adam daripada dosanya perzinaan!''.

Mereka mengira sudah menjadi mukmin yang taat, dengan naik haji, shalat, zikir, sedekah, atau bahkan menangis tersedu-sedu dalam sebuah perhelatan zikir di televisi.

Penggambaran yang sempurna dan khas atas sebuah ''Interpretasi jahat (hilah)'' dari hukum fikih di atas, seakan dihadirkan oleh Soekarno untuk menyingkap dan menyadarkan umat bahwa telah bergesernya fikih sebagai bagian teknis operasional dari lima tujuan syariat yang memelihara agama (hifdud din), akal (hifdul aql), jiwa (hifdun nafs), keturunan (hifdhun nasl), dan harta benda (hifdhul mal) menjadi sebuah ''jalan penyelamatan'' belaka. Layaknya mengelabui Tuhan dan bermain-main dengan-Nya. Karenanya sebuah interpretasi atas teks fikih haruslah mendasarkan dirinya dari rasionalitas yang terdiri dari rasio analitis dan rasio dialektis.

Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan doa yang terbesar, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik di dalam tuan punya pikiran atau perbuatan, maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir !

Rasio analitis digunakan agar fikih dapat sejalan dengan syariat, melalui analisa dan studi perbandingan yang terkait dengan Al-Qur’an, Hadis, dan Syariat itu sendiri. Sedangkan rasio dialektis menjadi acuan dalam kaitannya antara fikih dan masyarakat, dalam konteks perkembangannya. Tentunya agar tetap menjaga fikih dalam lokalitas dan universalitasnya, dan tidak terlahir serta hidup dalam sebuah ruang hampa. Fikih haruslah lahir dari sebuah refleksi sosial yang menaunginya. Dengan rasio analitisnya atas ''Interpretasi jahat (hilah)'', Soekarno menuliskan sebagai berikut: ''Cobalah kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan doa yang terbesar, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik di dalam tuan punya pikiran atau perbuatan, maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir !''.

''Kita mengetahui tiap-tiap perintah agama dan tiap-tiap larangan agama sampai yang sekecil-kecilnya pun juga, tetapi kita tidak mengetahui betapa caranya Nabi, Sahabat-sahabat, Tabiin-tabiin, Khalifah-khalifah mentanfidzkan perintah-perintah dan larangan-larangan itu dalam urusan sehari-hari dan didalam urusannya negara. Kita sama sekali gelap dan buta buat di dalam pentanfidzkan itu, oleh karena kita tidak mengenal tarikh''.

Hal sebagaimana di atas tentu dimungkinkan hadir sebagai sebuah permasalahan diakibatkan watak dari fikih yang bersifat formalistik. Dan terkadang karena wataknya yang formalistik tersebut sebuah syariat menjadi tidak searah dengan kehidupan masyarakat dan tidak dapat tertangkap semangatnya oleh umat. Sebagaimana yang juga terjadi dalam kasus Abu Yusuf yang memberikan seluruh harta kekayaannya kepada istrinya sendiri pada akhir haul dengan maksud untuk menggugurkan kewajiban berzakat. Sesungguhnya zakat dalam Islam adalah semangat dan bentuk pembebasan manusia atas sebuah keadaan yang penuh kekurangan dan kemiskinan struktural dengan didasarkan pada solidaritas dan kolektivitas umat. Bukan hanya sebagai sebuah ritual formal belaka atas kewajiban Muzakki untuk mengeluarkan zakat pada nisab tertentu. Sebagai jalan keluar, Soekarno menawarkan untuk memahami fikih dengan berbasiskan pada sejarah, seperti berikut: ''Kita cakap mengajikan Al-Quran seperti seorang maha guru di Mesir, kita kenal isinya kitab-kitab fikih seperti seorang advokat kenal isinya ia punya kitab hukum pidana dan hukum perdata. Kita mengetahui tiap-tiap perintah agama dan tiap-tiap larangan agama sampai yang sekecil-kecilnya pun juga, tetapi kita tidak mengetahui betapa caranya Nabi, Sahabat-sahabat, Tabiin-tabiin, Khalifah-khalifah mentanfidzkan perintah-perintah dan larangan-larangan itu dalam urusan sehari-hari dan di dalam urusannya negara. Kita sama sekali gelap dan buta buat di dalam pentanfidzkan itu, oleh karena kita tidak mengenal tarikh''.

Sesungguhnya zakat dalam Islam adalah semangat dan bentuk pembebasan manusia atas sebuah keadaan yang penuh kekurangan dan kemiskinan struktural dengan didasarkan pada solidaritas dan kolektivitas umat. Bukan hanya sebagai sebuah ritual formal belaka atas kewajiban.

Penekanan atas rasionalitas dalam Islam juga diangkat oleh Soekarno melalui perlunya pemahaman yang mendalam atas sejarah. Ia menempatkan pemahaman sejarah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Islam itu sendiri. Sejarahnya peradaban Islam atau Al-Hadharah Al-Islamiyah. Sebagaimana diucapkan dalam semboyannya yang sangat terkenal ''Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah)''. Dengan demikian kita mampu melihat naik-turunnya dan perkembangan peradaban Islam untuk lebih jauh memetik pelajaran untuk memajukan Islam itu sendiri. Sejarah oleh Soekarno dipandang sebagai sesuatu yang aktif untuk menggelorakan peraihan kemajuan di masa yang akan datang. Sejarah bukanlah dilihat dan diposisikan sebagai masa lalu secara pasif yang telah dilampaui dalam hitungan waktu semata. Ia melihat dalam sejarah bahwa dominasi ilmu fikih atas Islam telah mengakibatkan kemunduran atas keseluruhan peradaban Islam. Menambahkan istilah dari Essad Bey, ''Islam menjadi membeku'', Soekarno melihat tanpa rasionalitas Islam menjadi satu sistim formal belaka.

Islam Indonesia kontemporer

Lihatlah bagaimana kaum birokrat, elite politik, elit militer, kaum intelektual, kaum pengusaha, atau lapisan masyarakat lainnya, yang menjadikan kedamaian agama sebagai tempat berlindung dan mencari penyelamatan diri melalui formalisme ritual ibadah. Sementara itu mereka tidak peduli, masa bodoh dan tidak mau tahu bahwa apa yang mereka lakukan selama ini menyimpang jauh dari ajaran Islam, dengan melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, merampas hak-hak rakyat kecil, atau membiarkan kejahatan-penjarahan atas alam terjadi sehingga berimplikasi pada kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan pada rakyat kecil.

Apabila kita merujuk pada teks Islam Sontoloyo, yang menekankan pada kebodohan, konyol, ataupun ketidakberesan, maka pertanyaannya sekarang: bagaimana keadaan umat Muslim Indonesia saat ini? Apakah masih Sontoloyo sebagaimana digambarkan Soekarno puluhan tahun kebelakang? Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dengan jujur kita akan menjawabnya: masih sontoloyo dan banyak sekali.

Lihatlah bagaimana kaum birokrat, elite politik, elit militer, kaum intelektual, kaum pengusaha atau lapisan masyarakat lainnya, yang menjadikan kedamaian agama sebagai tempat berlindung dan mencari penyelamatan diri melalui formalisme ritual ibadah. Sementara itu mereka tidak peduli, masa bodoh, dan tidak mau tahu bahwa apa yang mereka lakukan selama ini menyimpang jauh dari ajaran Islam, dengan melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, merampas hak-hak rakyat kecil atau membiarkan kejahatan-penjarahan atas alam terjadi sehingga berimplikasi pada kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan pada rakyat kecil. Mereka mengira sudah menjadi mukmin yang taat, dengan naik haji, shalat, zikir, sedekah, atau bahkan menangis tersedu-sedu dalam sebuah perhelatan zikir di televisi.

Di sisi lain, ada pula kelompok Islam yang secara ambisius hendak mengembalikan tata pemerintahan saat ini kepada model kekhalifahan Islam masa lampau yang telah terbukti melampaui masa sejarahnya dengan proses yang berdarah-darah dan memaksakan penerapan syariat Islam kepada bangsa yang sangat plural ini, tanpa memahami keadaan Bangsa dan Negara saat ini. Mereka memanipulasi simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan politik dengan mengedepankan semangat anti demokrasi yang menghormati keberagaman dan penghormatan atas HAM, serta mengobarkan semangat jihad yang dogmatik tanpa membuka diri atas penafsiran yang beragam atas pengertian jihad itu sendiri.

Jelaslah sudah masih banyak kaum Muslimin Indonesia yang hanya mendapatkan ''Abu-nya'' Islam dan bukan semangat dari ''Api-nya''. Maka layaklah bagi kita semua, kaum muslim Indonesia, untuk melakukan pertobatan Nasional dan mengakui bahwa Islam kita saat ini masih Islam Sontoloyo!

Karel Susetyo, pernah aktif pada Yayasan Pendidikan Soekarno bersama Rachmawati Soekarnoputri untuk mendirikan Universitas Bung Karno di Jakarta. Sempat menjadi wakil ketua DPD poros Indonesia DKI Jakarta, ketua DPD Pergerakan Indonesia DKI Jakarta, dan wakil ketua DPD Banteng Muda Indonesia DKI Jakarta

(Sayap Pemuda PDI Perjuangan) (2003-2008)