Tanpa Batas Negara
Created by Anwari Doel Arnowo Jumat, 02 Desember 2005
Lelucon via short message service sudah biasa, seperti contoh berikut: A good example of the definition of globalization is the case of princess Diana’s death with an Egyptian boy friend crashed in a French tunnel in a German car driven by a Belgian who was drunk on Scotts whiskey, followed by Italian paparazzi on a Japanese motorcycle, treated by an American doctor, using a Brazilian medicine. This message was created by an Indonesian on a Korean phone smuggled by a Pakistani. This is globalization.
Oleh karena saya terhanyut oleh suasana globalization seperti itu saya jawab sebagai berikut: I dreamt of a world without any state at all. Nationalism? I am proud if an Indonesian person e.g. you yourself wins a Nobel Prize.
Tidak saya sangka sipengirim sms mengomentari sebagai berikut ini: Saya setuju banget dengan impian anda itu. Saya kira dunia akan aman dan damai serta sejahtera apabila semua negara meleburkan diri menjadi satu yaitu Negara Dunia. Hanya ada satu mata uang, hanya ada satu Hukum dan lain-lain. Negara-negara yang ada sekarang menjadi negara bagian dari Negara Dunia.
Pemerintah Pusatnya bisa sementara dengan mengkonversi PBB menjadi Pemerintah Pusat. Untuk masa peralihan seperti itu, nantinya akan diatur lagi dalam jangka waktu tidak lebih lama dari 10 tahun. Tetapi tidak boleh ada negara bagian yang mempunyai hak veto dan dominan seperti sekarang berlaku di PBB. Saya pernah berangan-angan seperti itu. Rupanya anda pernah memikirkannya juga. Bravo untuk anda.
Nah ini lumayan juga dapat teman yang berpikiran sama. Beberapa hari lalu pada tanggal 12 bulan lalu saya menulis article mengenai banyak ketidak beresan PBB dengan judul “U.N.O.”
Sebenarnya pemikiran Tanpa Batas Negara pernah saya kemukakan kepada ayah saya pada waktu saya masih duduk di Sekolah Menegah Pertama di kelas dua. Waktu beliau mendengar cara pikir saya itu, beliau berkomentar bahwa pemikiran saya itu seperti pemikiran seorang sosialis. Ayah saya adalah tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia), jadi beliau mungkin berpikir sebagai seorang activist PNI. Yang jelas saya waktu itu, cuma bengong saja, karena saya tidak paham apa sih arti seorang sosialis itu. Mungkin sekarangpun saya masih belum mengerti, padahal ayah saya itu mengucapkannya pada tahun 1954, lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Beberapa kejadian dalam bulan Nopember ini menghanyutkan saya kearah pemikiran-pemikiran yang saya kembangkan dalam bentuk tulisan, karena sering ketika saya kemukakan, maka kebanyakan yang mendengarkan mencibir sinis.
Itu bukan sesuatu yang mengecewakan saya, akan tetapi memang mungkin forumnya tidak sesuai.
Pada tanggal 30 Nopember saya menerima email dari seorang Pejabat Tinggi Negara yang kebetulan adalah salah satu teman saya sejak tahun 1955 sewaktu kita bersekolah di Sekolah Menengah Atas. Isinya kalau digabungkan bernuansa merindukan kebebasan dan kemerdekaan seperti yang saya alami. Dia masih mempunyai atasan: seorang Menteri dan Presiden dan belum bisa bebas seperti katanya, a.l. : Biasalah, kuli harus menunggu apa kata majikan. Memang enak kalau bebas merdeka seperti anda. Orang seumur kita-kita ini memang memerlukan rasa kebebasan berfikir, bersikap dan bertindak. Apalagi seperti posisi saya sekarang yang harus menerima titah orang-orang yang dulunya adalah Juniorku. Karena itu I’m looking forward to join you with all the freedom you have --- to think, to talk and to do whatever we want. “Ooo what a wonderful world.....” seperti katanyan Louis Armstrong dalam nyanyiannya yang serak-serak basah..... .
Ini bukan sesuai dengan pepatah terkenal the grass is always greener over the fence.
Memang kita, pengirim sms diatas, pejabat tinggi teman saya dan saya sendiri memang telah sampai pada umur yang kira-kira sama tuanya. Saya sendiri sudah meninggalkan dunia kesibukan business kira-kira delapan tahun lalu waktu saya mencapai umur enam puluh tahun, dan resminya menjadilah saya seorang pengangguran.
Akan tetapi masa menganggur saya ini, saya telah hampir penuh mengisinya dengan kerja sosial membantu para penderita stroke, berolah raga jalan kaki hampir setiap hari bersama anjing saya, main musik, berkumpul bernostalgia dengan teman-teman lama, mengobrol via telepon, email dan chatting, sudah dua bulan ini saya mengikuti kursus guitar classic, dan sebagainya, etcetera. Menghadiri pertemuan keluarga baik dari istri dan dari saudaranya istri serta dari besan dan sebagainya. Semua saya lakukan sesuka-suka saya. Kalau tidak suka dengan sesuatu, saya hindari agar tidak ada clash kepentingan dan tidak menimbulkan masalah stress baru. Rupanya gaya hidup saya seperti ini menjadi perhatian beberapa teman yang rupanya rindu dengan kebebasan. Saya katakan kepada teman saya yang birokrat itu, kalau pensiun dan selesai tugas pemerintahan, jangan berbisnis, itu dunia saya. Kalau kamu berbisnis akan mendapat kekecewaan baru. Lihatlah saya, sekarang ini saya tidak akan mengejar apapun yang berupa keuntungan materi atau bisnis, kalau saya bisa memprediksi bahwa keuntungan yang saya peroleh akan membawa sengsara dikemudian hari. Saya utamakan adalah kepentingan kesehatan yang baik dan prima. Ungkapan yang urut adalah: bersih itu sehat, akan tetapi sehat itu mahal. Mahal dalam pengelolaan maupun dalam pembiayaan finansial. Jadi jagalah agar tetap bugar dan sehat, physic maupun mental, agar sejahtera. Sejahtera tidak dapat diukur dengan banyaknya atau cukupnya materi.
Banyak faktor dari dalam relung hati kita sendiri, justru yang menentukan terjadinya kesejahteraan pribadi.
Berikut ini masih menyangkut masalah kesejahteraan.
Ada seorang anak teman saya yang telah berkeluarga dengan seorang anaknya yang belum berumur 3 tahun. Baru-baru ini dia berangkat dan pindah tempat tinggal dan pekerjaan di negara lain yang letaknya jauh sekali. Ketika ditanya mengapa dia berbuat demikian, dia menjawab bahwa dia tidak ingin kaya raya seperti ayahnya dan teman-teman ayahnya, akan tetapi hanya ingin hidup sejahtera, menghidupi keluarga, mendidik dan menyekolahkan anaknya di lingkungan yang sehat. Wah kalimat pendek ini justru rasanya seperti menempeleng kita para orang tua. Kita para senior ini, telah tidak melakukan pekerjaan dengan benar sehingga seorang junior seperti dia mempunyai pemikiran yang seperti itu. Pemikiran yang sehat dan progressive. Kita sudah terpaku kepada pemikiran bahwa hidup yang benar adalah hidup yang berkecukupan dan juga berlebihan dalam bidang materi. Rumah besar, uang banyak dan apapun yang tidak dapat dicapai sewaktu masih muda, dapat diperoleh sekarang waktu sudah berumur. Ternyata sang Junior membuka mata para orang tua.
Seorang Jerman baru pensiun dan mengunjungi Indonesia. Dia telah bertemu dengan teman-temannya yang dulu bekerja di Pertamina dan yang pernah berkunjung ke Jerman dengan menunjukkan kemewahan yang berlebihan.
Sekarang si orang Jerman ini terheran-heran bagaimana teman-temannya yang dulu bermewah-mewah, hidupnya sekarang tidak berkecukupan, sedang dia yang hidup tidak mewah tetapi merasakan hidup sejahtera. Si orang Jerman memang belum berusia pensiun, 59 tahun, akan tetapi diberi kesempatan pensiun dini dan diberi pensiun sebesar 80% gaji yang diterimanya seperti pada waktu dia masih aktip bekerja. Syaratnya: dia tidak dibolehkan untuk bekerja apapun yang lain, biarpun pekerjaan sosial. Jadi apa kerjanya? Dia jalan-jalan keliling dunia, ke Greenland motret-motret, ke pulau Komodo dan sebagainya. Yang patut diingat adalah siorang Jerman ini bukan orang kaya raya yang bisa bermewah-mewah!!
Jadi pemikiran saya mengenai Tanpa Batas Negara adalah keadaan yang memungkinkan orang bergerak didunia ini tanpa memikirkan keimigrasian, tanpa memikirkan bangsa, golongan atau ras, tanpa mencurigai kepercayaan yang bentuknya tidak sama dengan kepercayaan kita sendiri. Dia boleh bangga menjadi orang Negro, menjadi orang beragama Mormon, atau lulusan Podok Pesantren Ngruki dan boleh menikahi seorang China yang berkulit kuning. Mau mendirikan rumah di Pulau Halmahera dan makan babi serta tidak suka makan pete, silakan saja. Siapapun diharapkan agar tidak menghina orang lain yang kebetulan kurang beruntung hidupnya dibandingkan dengan dia. Tidak boleh mengatakan tidak, hanya untuk bertetangga dengan tetangganya yang kebetulan suka mengonsumsi makanan yang tidak disukainya, misalnya daging ular atau macan sekalipun.
Semua tidak dan iya diatur oleh peraturan yang ada yang disetujui oleh sebagian besar penduduk didunia. Apakah Pemerintah itu adalah PBB ataukah Dewan Dunia atau apapun, asal memperoleh persetujuan sebagian besar manusia, ya harus ditaati. Judi, minum minuman keras, madat? Sediakan tempat tertentu yang tersendiri. Dua hal itu adalah kebiasaan yang kita, yang manusia telah terbukti tidak pernah bisa berhasil memberantasnya selama lebih dari dua ribu tahun lamanya.
Saya tidak menganjurkan orang untuk terlalu mencampuri urusan orang lain utamanya dalam berpolitik, beragama, berkelakuan baik atau buruk, apalagi kalau dia sendiri masih banyak kekurangannya. Saya sadar sepenuhnya bahwa orang akan menentang dan mungkin mengumpat beberapa bahkan banyak bagian dari pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran diatas. Itu semua karena orang belum bisa mengganti yang selama ini diyakininya. Saya menerima perubahan pendapat saya sendiri, misalnya mengenai nasionalisme. Tahun 1945 saya menerima pendapat mengenai Nasionalisme seperti apa yang umum memahaminya waktu itu. Sekarang saya sudah menyiapkan mental saya untuk menerima perubahan mengenai hak ingin merdeka dari siapapun.
Belum ada satu pihakpun yang siap merdeka, biarpun dia sudah lama berteriak ingin merdeka. Republik Indonesia memproklamirkan diri merdeka dan sudah siap dengan konstitusinya keesokan harinya. Tidak semua negara bisa seperti ini.
Borderless adalah solusi tahap pertama yang paling mudah dilaksanakan.
Sepanjang seseorang dapat menunjukkan identitas dirinya dengan sah dan benar, dia boleh pergi kemana saja dia mau. Identitas diri harusnya bukan hambatan kalau tidak ada kepentingan para birokrat yang menghambatnya.
Search Engine seperti Google dan sebangsanya bukan barang aneh lagi. Saya bisa mencari sebagian besar informasi mengenai seseorang, dari George Walker Bush sampai Harry Potter bahkan Dr. Azahari sekalipun. Orang bisa berangkat dengan visa electronic dan ticket electronic. Hari ini cuma perlu bawa paspor saja. Tidak lama lagi maka paspor yang electronicpun akan bisa diciptakan, kalau mau. Bahkan secara technical tidak mustahil untuk menanam identitas electronic didalam tubuh manusia.
Itu hanya soal waktu saja.
Conflict antar negara biasanya karena perbedaan kepentingan. Bisa saja kepentingannya adalah kepentingan nasional tetapi juga bisa karena soal like and dislike. Presiden Bush tidak suka Saddam Hussein? Belum tentu. Bush mewakili keserakahan Industri dan ekonomi Amerika. Apakah minyak Irak bukan sesuatu yang amat menarik minat Amerika? Kebohongan ditutupi lagi dengan kobohongan lain, sehingga seperti snowballing, bola salju yang kian membesar dan membesar tidak dapat dikendalikan. Bola salju juga bisa saja akan melindas si pencipta asal dari kebohongan pertama.
Created by Anwari Doel Arnowo
---ooo000ooo---