"Klaim" Budaya Itu, Sekali Lagi 
Oleh Radhar Panca Dahana
Supaya tidak terjebak dalam siklus kata-kata yang tidak produktif, kasus ”klaim tari pendet oleh Malaysia” ada baiknya mengklarifikasi satu hal: klaim yang diributkan itu sebenarnya tidak ada.
Promo wisata Malaysia yang dibuat Discovery Channel tidak menyebutkan ikon-ikon budaya Indonesia yang ditampilkan sebagai milik, karya cipta, atau hak budaya mereka. Hal itu hanya dilakukan untuk kepentingan komersial/bisnis.
Untuk soal seperti ini, sebenarnya terlampau kerap kita menjumpai kasus serupa, tanpa kita keberatan. Promo wisata Singapura, misalnya, tak terhitung frekuensinya menggunakan gambar/video karya budaya Indonesia, termasuk wayang dan tari pendet. Tak ada keributan. Sebagaimana kita tahu, dalam propaganda politiknya, Nelson Mandela hadir di media massa global mengenakan batik. Atau museum di Paris dan Barcelona mempromosikan gamelan sebagai ikon utamanya.
Dalam sebuah pergaulan budaya, sejak ribuan tahun, soal jiplak-menjiplak adalah hal lumrah, bahkan menjadi kewajaran kebudayaan. India tidak pernah marah saat orang Jawa menyatakan Mahabarata atau Ramayana adalah ekspresi kultural, bahkan sumber identitas.
Rabindranath Tagore, pada awal abad ini, setelah berkeliling Jawa, menegaskan kepada sejawatnya, Sanusi Pane cs, tentang sasus ada ”India kecil” di kawasan tenggara. ”Dusta. Itu bukan India,” tegasnya, ”itu Jawa, yang bahkan India sendiri tidak mampu membuatnya.”
Begitupun China tidak marah dengan banyak ekspresi budaya Indonesia yang diambil darinya, mulai sisingaan di Subang, beduk, baju koko, hingga—menurut Remy Silado—nada musik slendro. Apakah keroncong membangkitkan amarah orang Portugis? Bagaimana dengan musik gambus, marawis, sastra Bali, seni Betawi, hingga gaya harajuku anak muda masa kini?
Kekuatan unik kita
Pada persoalan penciptaan, sebuah karya budaya, seperti seni, dalam waktu dan ruang tertentu akan bergeser—bahkan secara yuridis—menjadi milik atau wilayah publik. Perluasan ruang dan waktu itulah yang membentuk magnitude dari sebuah karya, yang nilai dan penghargaannya melampaui jumlah tiket, piala, atau sekadar besaran royalti.
Terlebih bila karya itu dire-kreasi pihak lain—yang mungkin asing—untuk kemudian menjadi medium aktualisasi diri, bahkan hingga tingkat identifikasi diri. Sebenarnya dengan itu sebuah karya telah mencapai kulminasi pencapaian kreatifnya.
Maka sebenarnya amat mengagumkan, bahkan membanggakan, bila sebuah karya, katakanlah Für Elise-nya Beethoven, menjadi romansa yang dinyanyikan setiap pencinta di dunia, atau menjadi lagu penanda truk sampah di Taiwan dan Iran, jadi kode penjual gas di Turki dan Brasil.
Kita pun tahu bagaimana lagu-lagu Beatles pernah menjadi ”lagu kebangsaan” generasi bunga akhir 1960-an. Begitupun blues, jazz, rap, atau reggae, yang dimiliki secara subyektif oleh musikus seantero jagat, tanpa membuat masyarakat Harlem, Mississippi, atau Jamaika geram. Karena begitulah cara masyarakat dunia merawat karya-karya terbaiknya di bidang kebudayaan. Begitulah kita bangga pada batik, wayang, atau Borobudur menjadi warisan dunia, menjadi milik dunia, dimanfaatkan dan dipelihara masyarakat dunia.
Dengan alasan ringkas itu, jelaslah bagi kita, jika masalah ”klaim” dilanjutkan, bukan saja akan memukul balik diri sendiri, tetapi juga membuat kita rudin secara kultural. Begitu banyak produk kebudayaan kita dapat dirujuk asal-usul asingnya.
Apa yang mungkin menarik dan ”unik” dari hubungan interkultural yang intensif dan masif di kepulauan ini adalah kemampuan masyarakatnya mengolah, menghibridasi semua khazanah simbolik yang datang dari luar, dalam satu larutan atau produk dengan dengan karakter budaya yang baru. Sebuah kemampuan—juga kekuatan—yang ditemukan di Bali, Sunda, Jawa, Minang, Bugis, Betawi, Banjar, dan Betawi.
Masalah timbul saat untuk kekuatan dan kemampuan ini justru pemerintah minim, bahkan hampir absen, peran dan perhatiannya sehingga bukan saja proses dan kerja kebudayaan mengalami disorientasi secara kolektif, pemerintah pun mengalami krisis karena kehilangan otoritasnya dalam kerja dan proses itu. Krisis ini pula yang akhirnya menjawab pertanyaan kita belakangan ini: mengapa sebagian masyarakat mudah marah untuk masalah yang lumrah?
Kekecewaan publik
Dalam pertemuannya dengan pimpinan MPR, anggota Mufakat Budaya seperti musikus dan aktor senior, Yockie Suryoprayogo dan Sys Ns, mengisahkan, bagaimana dunia musik dan film Indonesia dapat berkembang hingga hari ini semata karena perjuangan keras pelaku kreatifnya. Bila tidak minim, negara nyaris absen. Sebuah keadaan juga dirasakan pekerja sastra, tari, seni rupa, teater, dan lainnya.
Tali-menali dengan persoalan lain di bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya, kenyataan itu menciptakan kekecewaan publik yang dalam bobot tertentu menghancurkan wibawa kebudayaan pemerintah. Kekecewaan itu seperti mendapat justifikasi saat masyarakat melihat kenyataan bagaimana kini pemerintahan mudah dipengaruhi atau dibawa arus besar politik dan ekonomi global. Tanpa resistensi atau semacam tawaran alternatif.
Malaysia pun hadir sebagai penyebab saat dalam upayanya mencapai kedigdayaan politis—sebagaimana kesejahteraan ekonomis yang diraihnya—negeri itu mencoba menggoyahkan otoritas politik Indonesia yang begitu dominan di ASEAN. Berawal dari ”kemenangan besar” merebut Sipadan dan Ligitan, Malaysia mengusik wibawa politik Indonesia bukan cuma di soal kesenian, tetapi juga di Ambalat, di masalah perbatasan, pencurian kayu dan ikan, TKW, hingga simbol-simbol sakral dunia politik, seperti lagu kebangsaan.
Hasilnya? Pemerintah 
Seyogianya ini menjadi semacam pembelajaran, bangsa dan negara ternyata tidak cukup dan tidak akan selesai hanya pada parsial politis, ekonomis, atau teknologis saja. Kebudayaan terbukti menjadi fundamen yang meneguhkan semua sukses itu. Tanpanya, semua sukses itu akan mengapung, menjadi artifisial, bahkan ilusif di banyak bagian. Apa lantaran itu sebuah bangsa kemudian harus terus tinggal dalam imaji kita saja?
Pemerintah yang berbudaya harus menjawabnya.
Radhar Panca Dahana Sastrawan
Anwari Doel Arnowo 
Sedikit tambahan untuk tulisan
oleh Radhar Panca Dahana,
Satu pihak yang biasanya sunyi senyap tetapi justru 
dialah sipembuat ingar bingar, sering tidak mengakui, 
itu adalah pembawa berita dari media cetak maupun 
media elektronik serta televisi.
Kalau dulu orang bilang no news is good news, maka 
bagi media no news is no good. Tidak perduli berita 
apapun juga akan dimuat. Tidak ada berita maka membuat-
buat agar ada berita, pancing 
timbul keributan yang tidak perlu. Keributan meng- 
akibatkan kerugian-kerugian materi, kegelisahan, rasa 
permusuhan dan apapun orang media itu tidak perduli. 
Demi keterbukaan, demi prinsip journalisme, demi meng-
alirnya informasi, jenis apapun, kalau salah kan bisa 
dibantah dengan hak jawab. Target berita berarti target 
pendapatan uang atau bentuk imbalan lain. Apakah tidak 
ada redaktur? Dan apakah tidak ada yang namanya 
penyaringan berita?? Saya tidak bisa menjawabnya, tetapi 
produk yang bertebaran di media cetak sungguh memprihatinkan. 
Saya harap terutama media cetak dan berta televisi mau 
memperhatikan, bahwa di dalam masyarakat ada yang bisa 
ampuh untuk dipakai dalam bekerja di mana saja: 
Kebijaksanaan. Bijaklah dalam menilai berita itu pantas 
tayang atau tidak pantas tayang. Alihkanlah berita politik 
yang akan menjadi tontonan sandiwara, bisa melihat akan 
tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Juga masa konflik agama. 
Kalau kedua hal ini disisihkan sebisanya, maka akan banyak 
sekali berita yang bisa digali di bidang upaya menunjukkan
 informasi peluang bekerja bagi para penganggur. Cara-cara 
mencari pekerjaan dan menciptakan kerja bagi diri sendiri. 
Sibukkanlah para pembaca untuk meresapi informasi berita 
yang akan bisa bekerja dan menghidupi diri sendiri. Itu semua 
bisa dikerjakan oleh media cetak maupun elektronik. Kalau 
ada peluang bekerja mencari nafkah yang sesuai, maka bukan 
aneh kalau justru para pelaku mediapun akan pindah haluan 
dan mengganti pekerjaannya dengan peluang kerja yang lebih 
menjanjikan seperti itu.
Kadang-kadang menimbulkan pertanyaan besar di dalam pikiran,
 apakah orang-orang pelaku media ini sedang panik, karena 
internet maju pesat? Bahwa adanya  internet, kebutuhan orang 
terhadap media cetak akan menurun?? Saya pikir itu semua tidak 
akan terjadi. Semua upaya untuk hidup manusia, sarananya akan 
tetap ada. Itu dapat diamati sepanjang masa sejak dahulu kala. 
Ingat, Internet pun pernah dituduh akan menyebabkan pengangguran. 
Tetapi itu kan tidak pernah terjadi? Internet malah menciptakan 
efisiensi, keteraturan dan kerapian, itu semua tergantung kepada 
manusia penggunanya.
Hilangkanlah berita sampah, yang menyebabkan penonton, hanya 
terpaku melihat berita-berita dan publikasi-publikasi orang-orang 
politik, berakting dan berakrobat, yang nilainya belum pernah 
menaikkan kesejahteraan masyarakat. 
Berita soal Malaysia, karena dikelola dengan intelektualisme yang 
berkelas rendah, menyebabkan kerancuan dan kepiluan banyak pihak. 
Perbaikilah keadaan dengan penanmu yang tajam itu. 
Anwari Doel Arnowo - 16 September 2009  
2009/9/16  
Ini tambahan sampeyan bagus, aku usul dikirim ke media cetak harian2
 untuk mengisi rubrik Opini mereka. Sebelum mereka makin kebablasan
 menjadikan makin ingar bingar suasananya dan masyarakat yang makin
 kebingungan kehilangan arah dan pegangan dalam berpikir dan bersikap.
 Sementara pimpinan dan petinggi kita nggak memberikan sikap yang 
madani
 
1 comment:
Post a Comment